WAHANANEWS.CO, Jakarta - Harta kekayaan konglomerat Mochtar Riady kembali jadi sorotan publik setelah muncul pengakuan bahwa ia pernah memecat anak kandungnya sendiri dari perusahaan karena alasan prinsipil yang tak bisa ia toleransi.
Langkah ekstrem itu diambil bukan karena konflik bisnis biasa, melainkan karena prinsip keuangan yang ia pegang teguh seumur hidupnya sebagai sosok yang dijuluki Bapak Perbankan Indonesia.
Baca Juga:
APBN Harus Transparan, Eddy Soeparno Minta Audit Sebelum Pembangunan Ulang Ponpes Al Khoziny Dimulai
Mochtar Riady yang dikenal disiplin dan konservatif dalam urusan finansial mengaku tidak pernah menyukai aktivitas trading yang dianggapnya spekulatif dan bertentangan dengan filosofi bisnis jangka panjang yang sehat.
Menurutnya, dunia trading seperti forex dan spekulasi investasi bukanlah jalan yang membangun nilai perusahaan secara berkelanjutan, melainkan jebakan keuntungan instan yang berisiko merusak fondasi keuangan.
Karena itu, ia menegaskan tidak akan memberi toleransi terhadap praktik tersebut bahkan jika pelakunya adalah darah dagingnya sendiri.
Baca Juga:
Sepekan 1.084 Anak Tumbang, JPPI Sebut Keracunan MBG Sudah Masuk Fase Darurat Nasional
Dalam sebuah wawancara yang diunggah akun Instagram @fyifact, Mochtar menceritakan bagaimana pada suatu hari dirinya masuk ke ruangan Andrew Riady dan menemukan komputer berisi data terkait forex yang membuatnya langsung mengambil sikap.
“Suatu hari aku masuk ke ruangan anakku, dan aku menemukan komputer berisi informasi soal forex, bagiku ini adalah spekulasi,” ujar Mochtar Riady.
Kecewa dengan temuan tersebut, Mochtar kemudian memutuskan untuk mencopot Andrew dari perusahaan tanpa kompromi karena menurutnya tindakan itu berbahaya bagi reputasi dan stabilitas bank.
Keputusan tegas itu memicu reaksi dari sejumlah kolega bisnisnya yang menilai langkah Mochtar terlalu keras untuk sebuah pelanggaran yang dianggap sebagian orang sepele.
“Ada yang bilang, kenapa kamu memecat Andrew, dia kan sangat mahir, ini masalah kecil, tidak perlu sampai dipecat,” cerita Mochtar sembari menirukan suara rekan-rekannya.
Namun, Mochtar tetap kukuh dan tak bergeming karena baginya prinsip tidak bisa dinegosiasikan hanya demi menjaga hubungan keluarga.
“Aku bilang tidak, ini sangat berbahaya, Andrew harus keluar dan jangan lagi terlibat di bank,” tegasnya.
Sikap itu menunjukkan konsistensinya dalam menegakkan nilai kehati-hatian di sektor perbankan yang diyakininya harus dibangun atas kepercayaan publik, stabilitas, dan tanggung jawab, bukan mengejar keuntungan cepat.
Ketekunan dan prinsip keras itulah yang membuat nama Mochtar Riady menempati posisi khusus dalam sejarah industri keuangan Indonesia.
Pada Jumat (13/12/2024), Forbes melaporkan kekayaan Mochtar Riady mencapai 2,1 miliar dollar AS atau sekitar Rp33,6 triliun dengan kurs Rp16.022 per dollar AS.
Dengan jumlah kekayaan tersebut, Mochtar berada di peringkat ke-25 daftar 50 orang terkaya di Indonesia tahun 2024 dan menduduki posisi ke-2152 dalam daftar orang terkaya dunia.
Sumber utama kekayaannya berasal dari kelompok usaha Lippo yang ia dirikan dan saat ini operasionalnya dijalankan oleh James Riady dan Stephen Riady.
Lippo Group kini membentang di berbagai sektor mulai dari properti, ritel, kesehatan, pendidikan, hingga media yang memperkuat nama keluarga Riady sebagai salah satu dinasti bisnis paling berpengaruh di Asia.
Terlahir dengan nama Lie Moe Tie, Mochtar Riady lahir di Malang, Jawa Timur, pada 12 Mei 1929, dan sejak muda dirinya sudah terpikat pada dunia perbankan karena sering melihat gedung-gedung bergaya Eropa saat berangkat sekolah.
Meski begitu, pada usia 20-an tahun ia justru menjadi pengelola toko milik mertuanya di Jember sebelum memutuskan merantau ke Jakarta untuk mengejar impian menjadi bankir.
Dalam memoarnya berjudul "Otobiografi Mochtar Riady: Manusia Ide" (2016), ia mengaku meninggalkan bisnis toko dan memilih membangun jejaring di Jakarta meskipun tidak langsung diterima di sektor perbankan.
Pada masa demokrasi liberal (1950-1959), Mochtar tetap nekat memulai usaha sepeda sambil terus mencari celah untuk masuk ke dunia keuangan yang ia idam-idamkan.
Tahun 1959 menjadi titik balik ketika ia berkenalan dengan Andi Gappa, kakak dari Andi Muhamad Jusuf yang kelak menjadi Menteri dan Panglima ABRI, dan dari situ pintu dunia perbankan mulai terbuka.
Saat itu, Andi Gappa yang memiliki Bank Kemakmuran menawarkan Mochtar menjadi mitra usaha dengan syarat menyuntik modal segar 200.000 dollar AS untuk menguasai 66 persen saham bank yang asetnya saat itu sekitar 3 juta dollar AS.
Mochtar kemudian menjabat sebagai presiden direktur Bank Kemakmuran meski ia sendiri mengaku belum bisa membaca laporan keuangan secara profesional.
"Di Bank Kemakmuran, saya banyak mendapat pelajaran dan pengalaman sehingga bisa mengenal sifat manusia yang umumnya serakah dan egoistik,” aku Mochtar.
Setelah itu, ia memilih mencari mitra baru yang lebih berkarakter baik dan memiliki modal kuat untuk membangun bank yang lebih sehat secara struktur.
Kesempatan datang ketika Ma Zhong, pemilik Bank Buana, menghadapi kerugian karena manajemen yang buruk sehingga memberikan peluang akuisisi.
Pada 1963, Mochtar dan mitranya mengambil alih Bank Buana dan berhasil mendorongnya masuk peringkat enam besar bank nasional hanya dalam dua tahun, tepatnya pada 1965.
Ketika krisis perbankan melanda Indonesia pada 1965-1966, Bank Buana menjadi salah satu dari sedikit bank yang selamat sementara Bank Kemakmuran justru tumbang dan akhirnya diambil alih oleh Mochtar.
Pada 1971, lahirlah Pan Indonesia Bank atau Panin Bank dari hasil merger Bank Industri dan Dagang Indonesia, Bank Industri Jaya Indonesia, dan Bank Kemakmuran.
Kiprah Mochtar Riady semakin konsisten setelah ia bergabung dengan Bank Central Asia (BCA) atas ajakan Sudono Salim atau Liem Sioe Liong dalam sebuah penerbangan menuju Hong Kong.
Saat itu, tawaran datang untuk menangani Bank Windu Kencana, Bank Dewa Ruci, dan BCA yang sedang bermasalah, dan Mochtar memilih fokus pada BCA.
Keputusan itu kemudian menjadi salah satu langkah strategis yang mengantar BCA tumbuh menjadi bank raksasa yang mampu mencapai peringkat clearing house kedua setelah Bank Indonesia.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]