WahanaNews.co | Semua sepakat, Juli dan Agustus 2021 merupakan periode yang paling mengerikan sepanjang pandemi dalam 2 tahun terakhir ini. Namun di saat yang sama, Indonesia justru ketiban rezeki nomplok dari lonjakan harga komoditas internasional.
Hal ini memberikan dampak positif terhadap penerimaan negara yang mampu meraih target di 2021. Salah satunya terlihat pada penerimaan pajak.
Baca Juga:
Lepas Ekspor Adonan Roti ke Uni Emirat Arab, Mendag Budi Ajak Pelaku Usaha Perkuat Citra Produk Indonesia
"Karena komoditas melonjak luar biasa, pajak sektor pertambangan dari minus 43,4% menjadi 60,52%, positif itu lonjakannya pada kuartal III saat delta membabi buta kita naiknya justru tiga kali lipat," ungkap Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers APBN Kita awal pekan lalu.
Peningkatan juga muncul pada sektor industri pengolahan, perdagangan dan konstruksi dan real estate. Secara total penerimaan pajak di akhir tahun mencapai Rp 1.277,5 triliun (103,9%) tumbuh 19,2%.
Dampak berikutnya terlihat pada bea keluar, di mana realisasinya mencapai Rp 34,6 triliun atau 1.933,7% dari target APBN. Pertumbuhannya mencapai 708,2%. Penopang terbesar adalah produk kelapa sawit dan tembaga.
Baca Juga:
Sayuran Daun Kelor RI Diburu Asing, LPEI Ambil Peran
Kemenkeu juga mencatat kenaikan pada penerimaan negara bujkan pajak (PNBP). Realisasinya hingga akhir tahun adalah Rp 452 triliun atau tumbuh 31,5% menjadi 151,6% dari target APBN.
Ini didorong oleh pendapatan SDA Migas yang mencapai Rp 98 triliun atau tumbuh 41,9% akibat kenaikan harga minyak dunia dalam setahun terakhir. Kemudian SDA Non Migas mencapai Rp 52,8 triliun atau 181,4%, tumbuh 87,6% yang didukung oleh batu bara, tembaga dan nikel.
Hal ini kemudian memicu pertanyaan, akankah RI tahun depan bebas utang? Jawabannya jelas tidak.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 diperkirakan masih akan mengalami defisit hingga Rp 868 triliun atau 4,85% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Ini akan menjadi tambahan dari nominal utang Indonesia yang kini mencapai sekitar Rp 6000 triliun.
Kemenkeu akan menerbitkan surat berharga negara (SBN) neto sebesar Rp 991,3 triliun pada tahun depan untuk menutup defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Secara bruto SBN yang diterbitkan Rp 1.300,1 triliun.
Pada rinciannya SBN bruto meliputi penerbitan domestik reguler akan memakan porsi terbesar, yaitu sebanyak 78-83%. Selanjutnya SBN valuta asing (valas) 11-14% dan SBN ritel 6-8%.
Akan tetapi, seiring dengan meningkatnya penerimaan, penarikan utang bisa dikurangi. Seperti tahun ini. Defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2021 menyusut ke 4,65% terhadap produk domestik bruto (PDB) dari posisi 2020 yang sebesar 5,70% terhadap PDB.
"Sensitivitas APBN terhadap komoditas memang tinggi, terutama dari sisi penerimaan pajak dan non-pajak (PNBP). Hal ini positif bagi postur fiskal dalam jangka pendek," ungkap Economist & Fixed-income Research Bahana Sekuritas, Putera Satria Sambijantoro.
Setidaknya sebagian dari PNBP ditopang oleh sektor migas. Kemudian ada 30% industri ekspor juga dipengaruhi oleh harga komoditas batu bara minyak kelapa sawit dan nikel.
Hanya saja, pemerintah tidak boleh lengah. Sebab kemungkinan perubahan ekonomi global yang dimotori oleh negara maju lewat normalisasi stimulus moneter seperti Amerika Serikat dan Eropa bisa menurunkan harga komoditas ke depannya.
"Ketika normalisasi stimulus moneter menurunkan harga komoditas global, APBN dan keseimbangan eksternal kita bisa dalam tekanan lagi," ujarnya. [rin]