WahanaNews.co | Para penjual asing di e-commerce harus berbadan hukum Indonesia, sehingga mereka akan mengikuti aturan hukum yang berlaku di Tanah Air.
Hal itu diungkapkan Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo.
Baca Juga:
Tips Belanja Cerdas di Era Digital
Dengan begitu, jika ada masalah dengan pengiriman barang atau barang yang dipesan tidak sesuai, konsumen bisa membuat pengaduan dengan mudah.
"Yang selama ini banyak terjadi adalah penjualnya ada di luar negeri dan melakukan transaksi dengan konsumen Indonesia melalui e-commerce asing yang ada di Indonesia," kata Sudaryatmo seperti dikutip dari Antara, Senin (11/7/2022).
"Jadi kalau ada masalah, konsumen bisa langsung membuat aduan, bukan ke platform seperti selama ini. Dengan begitu, ini akan lebih fair untuk konsumen,” ujarnya.
Baca Juga:
Uang Palsu Beredar di E-commerce, Bank Indonesia Buka Suara
Baca Juga: Respons Instruksi Jokowi, Menkominfo Minta E-Commerce Tingkatkan Jual Produk UMKM Dalam Negeri
Ia meminta pemerintah Indonesia bisa tegas dalam mengawasi perdagangan di platform e-commerce. Menurutnya, selain untuk perlindungan konsumen, pengawasan yang baik juga meningkatkan pemasukan negara.
“Para seller asing yang menjual produk di e-commerce ini harus berbadan hukum di Indonesia sehingga kalau ada apa-apa bisa minta pertanggungjawaban ke negara. Dalam hal ini, konsumen akan terlindungi saat melakukan transaksi. Penjual dari luar negeri ini juga bisa dikenai pajak, jadi ada pemasukan untuk negara,” tutur Sudaryatmo.
Sebelumnya, Kementerian Perdagangan mencatat pengaduan konsumen sepanjang semester I-2022, didominasi penjualan online atau sektor niaga elektronik. Yaitu sebanyak 3.692 pengaduan konsumen.
Dari jumlah itu, sebanyak 86,1 persen atau 3.181 pengaduan berasal dari sektor niaga elektronik (e-commerce).
Pengaduan di sektor e-commerce meliputi sektor makanan dan minuman; jasa keuangan; jasa transportasi; pariwisata; dan elektonika/kendaraan bermotor.
Adapun jenis pengaduan antara lain pembelian barang yang tidak sesuai dengan perjanjian atau rusak; barang tidak diterima konsumen; pembatalan sepihak oleh pelaku usaha; waktu kedatangan barang tidak sesuai yang dijanjikan; pengembalian dana (refund), menambah (top up) saldo, serta penggunaan aplikasi platform/media sosial.
Dari seluruh pengaduan tersebut, 99,8 persen atau 3.687 pengaduan konsumen telah diselesaikan dan 5 sedang dalam proses.
Kemudian, aplikasi perpesanan WhatsApp menjadi saluran layanan pengaduan konsumen yang paling banyak digunakan, yaitu sebanyak 3.116 pengaduan.
Selanjutnya, situs web menerima 307 pengaduan, surat elektronik (e-mail) 228 pengaduan, telepon 34 pengaduan, datang langsung ke Direktorat Pemberdayaan Konsumen 6 pengaduan, dan surat 1 pengaduan. [qnt]