WAHANANEWS.CO, Jakarta - Rencana redenominasi rupiah kembali mencuat setelah sekian lama tertunda, menandai langkah besar pemerintah untuk menyederhanakan nominal mata uang tanpa mengubah nilainya.
Pemerintah menargetkan penyelesaian Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Harga Rupiah atau redenominasi pada tahun 2027, sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2025 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan 2025–2029.
Baca Juga:
Pemerintah Salurkan BLT Kesra dan Buka Program Magang, Airlangga: Sasar 140 Juta Warga Indonesia
Dalam dokumen tersebut, yang dirilis Jumat (7/11/2025), Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Kementerian Keuangan ditetapkan sebagai unit penanggung jawab utama atas penyusunan RUU tersebut.
“RUU tentang Perubahan Harga Rupiah (Redenominasi) merupakan RUU luncuran yang rencananya akan diselesaikan pada 2027,” tertulis dalam aturan tersebut.
Rencana redenominasi ini sebenarnya bukan hal baru, karena pernah diungkapkan Bank Indonesia (BI) pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), namun kala itu ditunda akibat tekanan ekonomi.
Baca Juga:
Prabowo Perintahkan Pemangkasan 1.000 Jadi 200 BUMN, dan Buka Ruang untuk Profesional Asing
Kini, ketika wacana itu kembali diangkat, publik kembali bertanya: apa sebenarnya makna redenominasi rupiah dan bagaimana dampaknya bagi perekonomian?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), redenominasi adalah penyederhanaan nilai mata uang tanpa mengubah daya beli atau nilai tukarnya terhadap barang dan jasa.
Langkah ini hanya memangkas jumlah nol pada pecahan uang agar lebih efisien digunakan dalam transaksi dan pencatatan keuangan.
Tujuan utama redenominasi adalah menciptakan efisiensi, kenyamanan, serta kemudahan dalam transaksi dan pembukuan.
Berdasarkan riset Permana dalam Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Publik (2015:115), pecahan rupiah saat ini termasuk terbesar ketiga di dunia setelah Zimbabwe dan Vietnam.
Untuk kawasan Asia Tenggara, pecahan Rp100.000 merupakan pecahan uang terbesar kedua setelah dong Vietnam dengan denominasi 500.000.
Pecahan uang yang besar ini memunculkan sejumlah persoalan bagi masyarakat, terutama dalam kegiatan transaksi harian dan pelaporan keuangan.
Melalui redenominasi, tiga angka nol di belakang satuan uang akan dihapus sehingga penghitungan menjadi lebih sederhana dan cepat.
Bagi sektor perbankan, langkah ini juga menghemat biaya teknologi serta memudahkan analisis laporan keuangan.
Selain itu, redenominasi diharapkan dapat meningkatkan citra ekonomi Indonesia di kancah global, membuat rupiah tampak lebih bernilai dan setara dengan mata uang negara lain di kawasan.
Namun, penting untuk membedakan antara redenominasi dan sanering karena keduanya kerap disalahartikan.
Redenominasi dilakukan dalam kondisi ekonomi yang stabil, dengan menyesuaikan nominal uang dan harga barang secara proporsional, sementara sanering dilakukan saat krisis ekonomi dengan memotong nilai uang secara drastis tanpa penyesuaian harga barang dan jasa.
Contoh sanering pernah terjadi di Indonesia pada 1965 ketika inflasi melonjak hingga 650 persen per tahun, menyebabkan daya beli masyarakat jatuh drastis.
Redenominasi justru dirancang untuk menjaga stabilitas dan daya beli dengan proses bertahap dan sosialisasi yang matang.
Dampak positif redenominasi di antaranya penyederhanaan perhitungan transaksi, peningkatan efisiensi sistem keuangan, dan kemudahan pembacaan laporan akuntansi.
Namun di sisi lain, tantangan yang dihadapi juga tidak kecil, seperti biaya besar untuk mencetak dan mendistribusikan uang baru serta risiko inflasi terselubung akibat pembulatan harga oleh pedagang.
Jika kebijakan ini diterapkan dalam kondisi inflasi tinggi, dikhawatirkan dapat memicu gejolak harga dan ketidakpercayaan masyarakat.
Oleh karena itu, keberhasilan redenominasi sangat bergantung pada kondisi ekonomi yang stabil dengan inflasi rendah, idealnya di sekitar 3 persen, serta kesiapan publik melalui sosialisasi yang panjang dan menyeluruh.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]