WahanaNews.co | Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran (Unpad) Tualar Simarmata mengungkapkan untuk mewujudkan kedaulatan pangan di tahun 2045, Indonesia memerlukan akselerasi transformasi pertanian.
Transformasi dari semula berbasis sumber daya alam ke berbasis inovasi.
Baca Juga:
Mentan MoU dengan Vietnam Kembangkan Teknologi Pertanian di Lahan Rawa
“Salah satu kelemahan pertanian Indonesia adalah masih berbasis sumber daya alam, sehingga nilai tambah yang kita miliki itu diperoleh negara lain,” kata Tualar saat menjadi pembicara pada Webinar Nasional “Diseminasi IPAT-BO Berbasis Digital untuk Meningkatkan Kapasitas Petani dan Produktivitas Padi di Indonesia” dikutip dari laman unpad.ac.id, Rabu, 10 Agustus 2022.
Tualar mencontohkan Indonesia dikenal sebagai salah satu produsen kakao terbesar di dunia. Namun, produk cokelat terbaik dan terenak di dunia justru bukan dari Indonesia.
Padahal, sebagai produsen kakao terbesar, Indonesia juga mampu bersaing menghasilkan produk cokelat terbaik. Karena itu, transformasi berbasis inovasi dan teknologi diperlukan untuk mewujudkan mimpi Indonesia sebagai lumbung pangan dunia.
Baca Juga:
Menteri Luhut: China Dukung Pengembangan Pertanian Kalimantan Tengah dengan Teknologi Padi
“Permasalahannya bukan bisa atau tidak bisa, tetapi mau tidak kita bertransformasi berbasis teknologi dan inovasi,” tutur dia.
Transformasi selanjutnya, regenerasi petani. Tualar mengatakan saat ini petani Indonesia harus sudah berpola pikir digital.
Petani generasi saat ini sudah tidak lagi profesi yang bekerja keras di sawah. Tetapi, petani yang mampu memanfaatkan kemajuan terknologi informasi untuk meningkatkan produktivitas pertanian.
Tualar juga menyanggah Indonesia kekurangan inovasi dan teknologi di bidang pertanian. Dia menilai banyak perguruan tinggi yang sudah menghasilkan inovasi dan teknologi di bidang pertanian. Namun, inovasi ini belum banyak diaplikasikan di lapangan.
“Orang Indonesia itu penelitiannya hebat, tapi banyak yang belum bisa berpikir apakah teknologi itu akan menghasilkan benefit. Makanya hilirisasi teknologi di perguruan tinggi tidak banyak yang sampai ke petani,” tutur dia.
Tualar mengatakan hal ini menjadi tantangan bagi peneliti Tanah Air untuk menciptakan teknologi pertanian yang berorientasi pada peningkatan profit. Saat ini, kata Tualar, ada berbagai masalah yang melingkupi sektor pertanian Indonesia.
Seperti kebutuhan pangan yang terus meningkat akibat pertumbuhan penduduk yang tinggi, lahan-lahan pertanian di Indonesia makin banyak terkategori sakit, sehingga tidak subur. Hal ini perlu menjadi perhatian untuk menyembuhkan lahan-lahan tersebut.
Tualar mengenalkan inovasi yang dihasilkannya dalam meningkatkan produktivitas pertanian. Inovasi bertajuk Teknologi Inovasi Intensifikasi Padi Aerob Terkendali Berbasis Organik (IPAT-BO) ini diirancang sebagai teknologi hemat air, hemat pupuk anorganik, serta hemat benih.
Teknologi ini menitikberatkan pada manajemen kekuatan biologis tanah, tata air, manajemen tanaman dan pemupukan berbasis organik secara terpadu.
Teknologi yang dikenalkan pertama kali sejak 2006 ini mampu meningkatkan produktivitas padi menjadi tiga kali lipat.
Dari hasil kajian pada 2006-2007, metode intensifikasi padi berbasis aerob terkendali dengan berbagai varietas padi di beberapa lokasi di Jabar dan Jatim ini mampu menghasilkan padi sebesar 10–16 ton per hektare atau naik rata-rata 50-150 persen dibandingkan dengan metode konvensional.
Tualar menjelaskan metode tanam IPAT-BO memiliki dua metode. Pertama, menggunakan sistem tanam benih langsung dengan menggunakan rice seeder yang mampu menghasilkan padi 8–10 ton/hektare, serta menggunakan sistem pindah tanam (transplanting) yang mampu menghasilkan 8–12 ton/hektare. [qnt]