WahanaNews.co | Pembahasan tentang penggunaan Biphenol A (BPA) dalam produk makanan dan minuman dalam kemasan jadi sorotan banyak kalangan.
Mengingat, perpindahan kandungan BPA dari kemasan menuju pangan memiliki resiko terhadap kesehatan masyarakat, misalnya kanker, autis, syaraf, dan masih banyak lagi penyakit yang berbahaya.
Baca Juga:
Super Hemat, Pasangan Ini Cuma Sajikan Air Bening di Resepsi Pernikahannya
BPA biasanya digunakan untuk membuat polikarbonat dan plastik lainnya, yang biasa digunakan pada benda keras seperti wadah makanan, teko, peralatan makan, wadah penyimpanan, dan banyak lagi.
Bahan kimia ini juga digunakan dalam resin epoksi yang melapisi bagian dalam produk logam dan tutup botol. BPA dapat bermigrasi dari wadah atau peralatan ke dalam makanan dan minuman.
Dalam konteks Amerika Serikat, temuan terbaru dari European Food Safety Authority (EFSA) menunjukan paparan dari BPA pada tingkatan tertentu dapat menggangu sistem kekebalan tubuh, sehingga menyebabkan peradangan, gangguan pada ovarium, gangguan endokrin, serta berkurangnya memori.
Baca Juga:
Desak Pelabelan BPA pada Galon Air Minum, Pakar: Ini Hak Konsumen
Dilansir dari foodsafetynews.com, 28 Januari 2022, beberapa organisasi kesehatan yang tergabung dalam sebuah koalisi mengirimkan petisi kepada Food and Drugs Administration untuk membatasi penggunaan BPA dalam produk makanan dan minuman.
Kondisi yang tidak jauh berbeda juga terjadi di Indonesia. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah melakukan uji postmarket 2021-2022 untuk produk Air Minum dalam Kemasan (AMDK).
Hasilnya, terdapat migrasi BPA (dari kemasan pangan ke dalam pangan) terjadi pada tahap distribusi, serta fasilitas sarana produksi. Selain itu, BPOM juga menemukan paparan BPA dalam kemasan galon isi ulang sangat beresiko pada bayi usia 6-11 bulan dan anak usia 1-3 tahun.
Saat ini, penggunaan BPA di Indonesia masih diperbolehkan dengan batas minimum 0,6 bpj (600 mikrogram/kg). Kebijakan tersebut diatur melalui Peraturan Nomor 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan yang ditetapkan oleh BPOM. Namun, BPOM juga berencana menetapkan standar baru dalam penggunaan BPA dalam produk AMDK.
Misalnya, dengan menyertakan label “free BPA” dalam kemasan suatu produk. Wacana tersebut pun ditolak oleh Asosiasi Perusahaan Air Minum dalam Kemasan, karena berpotensi mematikan industri air minum dalam kemasan.
Sementara itu, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Tulus Abadi menyatakan dukungannya untuk membebaskan kandungan BPA dalam kemasan pangan.
“Kebijakan free BPA dalam konteks perlindungan konsumen adalah hal yang baik,” ujarnya, Jumat, 1 April 2022. Ia melanjutkan, standar penggunaan BPA harus dikaji secara berkala. Misalnya, standar saat ini 0,6 bpj. Akan lebih baik lagi bila lebih rendah dari angka tersebut, bahkan tidak ada sama sekali mempertimbangkan pengaruh dari tahapan distribusinya.
YLKI pun telah melakukan survei terhadap produk AMDK dalam konteks pendistribusian. Hasilnya, sebanyak 61 persen pengangkutan AMDK masih dilakukan menggunakan truk atau mobil terbuka, sehingga produk terpapar sinar matahari secara langsung. Kondisi tersebut berpotensi meningkatkan kandungan BPAnya meningkat.
Sementara itu, terkait penolakan yang dilakukan oleh asosiasi perusahaan, menurut Tulus, merupakan hal wajar.
Baginya, itu upaya perusahaan dalam membangun posisi tawar di hadapan peraturan. “Mungkin anggapan mereka akan menambah ongkos produksi dan mengurangi pemasukan,” kata Tulus.
Tulus pun menegaskan, perlindungan konsumen harus menjadi poin penting yang diperhatikan oleh pembuat kebijakan.
Pihak BPOM juga diharapkan dapat mempublikasi riset terkait potensi bahaya BPA secara detail, sehingga masyarakat juga mengetahui potensi bahayanya. “Tugas regulator adalah membuat standar dalam pra-produksinya,” tutur Tulus. [qnt]