WAHANANEWS.CO, Jakarta - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai pentingnya kehadiran regulasi yang mewajibkan pencantuman label kadar lemak trans (trans-fatty acid/TFA) pada produk pangan olahan sebagai bagian dari upaya penghapusan lemak trans di Indonesia.
Pengurus Harian YLKI, Sudaryatmo, menyatakan bahwa lemak trans, terutama yang berasal dari proses industri, memiliki efek buruk bagi kesehatan, seperti meningkatkan kadar kolesterol jahat dan menekan pertumbuhan kolesterol baik dalam tubuh.
Baca Juga:
Kritik Pedas YLKI: Kebijakan Harga Tiket Taman Nasional 100-400% Justru Bunuh Minat Wisatawan
Oleh karena itu, regulasi terkait kandungan lemak trans dalam produk olahan sangat dibutuhkan.
“Yang YLKI tuntut adalah bagaimana pemerintah mengatur agar kadar lemak trans dicantumkan di label makanan. Jadi, konsumen bisa mengetahui kandungan lemak trans tersebut,” kata Sudaryatmo, melansir Antara, Rabu (16/10/2024).
Sudaryatmo juga menjelaskan bahwa Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mendorong negara-negara untuk mengadopsi salah satu dari dua pendekatan regulasi untuk menghapuskan lemak trans.
Baca Juga:
Kandungan Pestisida Anggur Shine Muscat Viral, YLKI Tegaskan Pentingnya Pengawasan Ekstra
Pendekatan pertama adalah membatasi kadar lemak trans industri hingga maksimal 2 persen dari total kandungan lemak dalam setiap produk pangan.
Pendekatan kedua adalah melarang penggunaan minyak terhidrogenasi sebagian atau partially hydrogenated oil (PHO), yang merupakan sumber utama lemak trans dari industri.
Saat ini, sebanyak 53 negara anggota WHO telah menerapkan kebijakan untuk menghilangkan lemak trans.
Sudaryatmo mencontohkan Denmark, negara pertama yang menerapkan kebijakan eliminasi lemak trans.
Sepuluh tahun setelah regulasi ini diterapkan, angka kematian akibat penyakit jantung dan pembuluh darah di Denmark turun sebesar 20 persen.
Di Indonesia, ia mengingatkan bahwa penyakit katastropik telah membebani anggaran BPJS Kesehatan sebesar Rp20 triliun pada tahun 2020, dengan 49 persen di antaranya disebabkan oleh penyakit jantung koroner.
Bahkan, kasus penyakit jantung di kalangan anak muda juga meningkat.
YLKI berharap pemerintah mengambil langkah terobosan dengan mengeluarkan regulasi pembatasan kadar lemak trans yang tidak hanya akan melindungi kesehatan masyarakat tetapi juga mencegah Indonesia dari menjadi target pasar produk PHO dari negara lain.
“Indonesia, jika tidak segera membuat regulasi, akan menjadi target pemasaran produk yang mengandung lemak trans dari pasar global karena tidak ada regulasi yang mengaturnya,” tegas Sudaryatmo.
Ia juga menyoroti pentingnya transparansi informasi yang diterima konsumen saat membeli produk pangan olahan.
Dari 119 sampel produk pangan kemasan yang dianalisis oleh YLKI pada 2023, ditemukan bahwa 60 persen tidak mencantumkan informasi mengenai kandungan lemak trans.
Sedangkan 40 persen produk yang mencantumkan klaim 0 persen lemak trans, menurut YLKI, masih perlu diuji lebih lanjut oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk memastikan kebenaran klaim tersebut.
Sementara itu, hasil uji laboratorium WHO Indonesia dan IPB pada tahun ini terhadap 130 sampel pangan menunjukkan bahwa 11 produk memiliki kandungan lemak trans melebihi batas rekomendasi WHO, yaitu 2 persen dari total lemak.
“Semakin detail informasi gizi pada label, semakin baik. Jika mengandung minyak nabati, pastikan apakah melalui proses hidrogenasi atau tidak. Hidrogenasi parsial akan menghasilkan lemak trans, dan itu berbahaya. Regulasi kita masih kurang detail dibanding negara-negara lain yang produk-produknya masuk ke Indonesia,” kata Sudaryatmo.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]