WahanaNews.co | Tren belanja online melalui platform media sosial semakin populer sejak pandemi Covid-19. Fenomena ini bahkan jadi kompetitor baru bagi paltform e-commerce yang selama ini berada di puncak tempat belanja online yang digandrungi masyarakat.
Dengan adanya social commerce, media sosial saat ini tidak hanya difungsikan sebagai etalase bagi pelaku usaha. Konsumen kini dapat melakukan seluruh proses pembelian tanpa meninggalkan aplikasi media sosial tersebut.
Baca Juga:
Kasus Timah, Helena Lim Musnahkan Bukti Transaksi Harvey Moeis
Namun, terdapat risiko di balik maraknya social commerce, terutama terkait manajemen data.
Sebelum adanya model bisnis social commerce, media sosial telah memiliki akses data yang cukup luas terhadap para pengguna platformnya, termasuk kebiasaan, perilaku, dan berbagai data pribadi lainnya.
Dengan adanya model bisnis social commerce, media sosial dinilai akan semakin memiliki kuasa dan akses atas data pengguna yang berasal tidak hanya dari layanan media sosial, tetapi juga terkait dengan transaksi pembelian mereka.
Baca Juga:
Polsek Kualuh Hulu Ringkus Pengedar Sabu di SPBU Aek Kanopan
Pengumpulan data pengguna yang eksesif ini memiliki potensi penyalahgunaan, misalnya praktik monopolistik, seperti cross-sharing data, tying and bundling, tracking self-preferencing, ataupun ranking manipulation yang berujung kepada praktik persaingan usaha yang tidak sehat.
YLKI: social commerce harus diatur
melansir Kompas.com, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan, social commerce harus diatur oleh pemerintah. Terutama, terkait penggunaan data pribadi di semua sektor termasuk di media sosial dan sejenisnya.