WahanaNews.co | Saat menempuh tahun pertama sekolah kedokteran di Marseille, Prancis, Nadia ingat betul bagaimana perlakuan lingkungannya terhadap
wanita Muslim yang mengenakan hijab.
Raut wajah dokter yang dinilainya
selalu berseri pada pasien, ia klaim sangat berbeda terhadap dirinya.
Baca Juga:
Cerita CEO Telegram Pavel Durov Diduga Miliki Empat Paspor
Menurut dia, pada 2017, ketika hendak melakukan pemeriksaan dan penimbangan ke dokter
tersebut, berat badan Nadia dikurangi dua kilogram.
Nadia sadar, hal itu bukan karena
timbangannya yang error, melainkan
karena dokter tersebut selalu melirik pakaian tertutup Nadia dan pasmina yang
dikenakannya.
"Biarkan rambut Anda bernapas,
nanti bisa rontok karena memakainya sepanjang waktu," ujar
perawat lain kepada Nadia, saat itu.
Baca Juga:
Turut Meriahkan Pra Olimpiade Paris 2024, PLN Hadirkan Reog Ponorogo di Acara Exhibition Pencak Silat
Tak sampai di sana, menjadi Muslim di
Prancis, diakui Nadia, selalu dinilai kapan pun dan di mana pun.
Bahkan, saat mengunjungi pusat grosir,
orang-orang diakuinya selalu menatap seakan terganggu oleh kehadirannya.
"Anak-anak kami tidak bisa berbicara
tentang keyakinannya, karena takut disebut teroris. Kami
merasa tidak aman di sini. Kami tidak diperlakukan sebagai warga Prancis yang
membayar pajak, tetapi sebagai hewan yang tak punya apa pun, " ucap Nadia,
yang hanya bisa mengungkapkan nama depannya, karena
takut dilecehkan lebih lanjut.
Hal serupa juga diutarakan Lamya (23
tahun), mahasiswa bisnis di Champigny-sur-Marne, pinggiran kota Paris.
Sepengetahuannya, banyak rekan
Muslimah yang menanggalkan jilbab dan identitasnya karena takut dikucilkan atau
menganggur setelah lulus.
"Bukan rahasia lagi mengenakan jilbab
di Prancis akan membuat Anda kesulitan mencari pekerjaan. Banyak perusahaan
yang menolak menerima perempuan berhijab, Muslim kehilangan pekerjaan karena
sholat di tempat kerja, "kata Lamya.
Muslimah Prancis lainnya, Laila, yang
juga meminta untuk tidak disebutkan nama lengkapnya, pindah dari Meaux, sebuah
kota di wilayah metropolitan Paris, ke Inggris, enam
bulan lalu.
Dia mengaku, pindahnya ke Inggris itu
dilakukan setelah mengalami pelecehan anti-Muslim selama beberapa dekade di
negara tersebut.
"Saya melihat lebih jelas lagi
jaket pengekang yang mengikat kami, betapa kami tidak berhak atas hal-hal biasa
seperti berenang, bekerja, dan belajar di segala bidang," ucap dia.
Menurut Laila, hukum yang ada di
Prancis bersifat kekanak-kanakan, karena hanya ingin mendominasi
semata.
Hingga kini, dia mengaku masih
mempertanyakan, ketentuan apa yang membuat orang harus mengenakan pakaian
tertentu.
"Ini tidak masuk akal, pada saat yang
sama mereka menjelekkan seolah-olah pemandangan kerudung kami dapat
meradikalisasi siapa pun yang memandang kami. Mereka ingin membuat kita tidak
terlihat. Faktanya, itulah katanya: kami merasa tidak terlihat, " ungkap
dia.
Nadia, Lamya, dan Laila hanya beberapa
Muslim yang mengalami bentuk rasialisme dan Islamofobia di Prancis.
Menanggapi hal tersebut, ketua
organisasi interseksional feminis dan antirasialis, Lallab, yang berbasis di
Paris, Fatima Bent, mengatakan, wanita Muslim
memang selalu ditampilkan oleh film hingga politikus sebagai wanita tertindas
tanpa kehendak.
Konsepsi itu, kata dia, adalah sudut
pandang Eurosentris dan definisi pembebasan yang rasialis, seksis serta
Islamofobia.
"Argumen pelarangan jilbab tidak
ada hubungannya dengan pembebasan dan membantu wanita Muslim, ini adalah
kelanjutan dari kekuatan kolonial Eropa yang menegaskan dominasi atas agama
minoritas, yang mendorong rasisme dan memperkuat stereotip," kata Fatima.
Islamofobia masih tumbuh subur di
Prancis. Padahal, berdasarkan data, nyatanya Prancis adalah rumah bagi empat
juta orang Muslim.
Jumlah itu memang menjadi populasi
terbesar di Eropa. Namun, populasi itu hanya mencapai delapan persen dari total
penduduk Prancis.
Tak hanya itu, jika menilik lebih
jauh, sepertiga tim sepakbola Prancis yang membawanya menjuarai Piala Dunia
2018 nyatanya adalah Muslim.
Fakta itu malah dibingungkan dengan
adanya 44,6 persen penduduk Prancis yang memandang Islam sebagai ancaman bagi
identitas nasional.
Bent mengatakan, persepsi yang ada
memang masih sulit dibendung.
Dirinya juga percaya jika Prancis
masih menganggap Muslim dan feminis sebagai sikap yang kontradiktif.
Menurut dia, narasi yang beredar di
Prancis hingga kini tetap berbicara mengenai wanita Muslim yang seolah blok
monolitik.
"Suara kami, pengalaman kami, realitas
kami dan perjuangan kami sebagai perempuan Muslim yang tinggal di Prancis
terlalu sering dibungkam," kata Bent. [dhn]
Sumber:www.vice.com/en/article/wx5e9m/france-hijab-ban-french-muslim-women-react