WahanaNews.co | Dianggap tak becus pimpin negara, kekuasaan dinasti Rajapaksa dituding sebagai biang keladi kebangkrutan Sri Lanka.
"Apakah Rajapaksa satu-satunya nama belakang di negara Anda?" demikian punchline yang populer di Sri Lanka.
Baca Juga:
Wickremesinghe Jadi Presiden Sri Lanka, Demonstran: Kami Tak Akan Mundur!
Pertanyaan dalam lelucon itu dilontarkan seorang pejabat fiktif dari China yang bingung ketika berkunjung ke Sri Lanka, karena setiap pejabat yang ia temui nama belakangnya sama.
Mudah membayangkan bagaimana lelucon itu bisa muncul: keluarga Rajapaksa telah menguasai negara kepulauan itu selama dua dekade terakhir.
Namun, dominasi tersebut kini terancam: Warga Sri Lanka tengah menghadapi krisis ekonomi terburuk sejak negara itu merdeka dari Inggris pada 1948.
Baca Juga:
Ekonomi Indonesia Disebut Masih Aman dari Krisis, Tapi…
Dan banyak ahli telah mengaitkan kesulitan saat ini dengan ketidakbecusan memimpin dan mengelola ekonomi negara.
Pada Senin (9/5/2022), Perdana Menteri (dan mantan Presiden) Mahinda Rajapaksa mengundurkan diri di tengah protes yang menyebar ke seluruh negeri sejak awal April 2022.
Mahinda Rajapaksa adalah kakak dari Presiden saat ini, Gotabaya Rajapaksa.
"Pengunduran diri Mahinda Rajapaksa menandai perubahan nasib yang memalukan bagi seorang pria yang selama bertahun-tahun menjadi orang paling berkuasa di Sri Lanka," kata Ayeshea Perera, editor situs BBC News Asia.
Sang mantan Presiden menjadi anggota paling terkenal dari dinasti politik yang sebenarnya belum lama berkuasa di kancah politik nasional.
Mereka berasal dari generasi pemilik tanah di distrik selatan Hambantota, dan Mahinda pertama kali terpilih menjadi anggota parlemen pada tahun 1970 --ia merupakan anggota termuda di parlemen waktu itu.
Kemudian, pada 1980-an, Mahinda terpilih lagi menjadi anggota parlemen, kali ini bersama kakak laki-lakinya, Chamal.
Mahinda menjadi populer karena mengecam pelanggaran hak asasi manusia dalam pemberontakan kelompok sayap kiri pada 1987-1989, yang membuatnya sampai meminta PBB untuk campur tangan.
Pada 1994, ia diangkat menjadi Menteri Tenaga Kerja oleh Presiden baru Sri Lanka, Chandrika Kumaratunga.
Selang 10 tahun kemudian, ia menjadi Perdana Menteri, dan pada tahun 2005 ia menang tipis dalam Pemilu untuk memperebutkan kursi kepresidenan.
Mahinda Rajapaksa menjabat sebagai Presiden Sri Lanka selama dua periode (2005-2015).
Pada 2009, ia menyelia akhir berdarah perang saudara dengan kelompok separatis Tamil yang telah berlangsung selama hampir 30 tahun.
Kemenangannya dinodai oleh tuduhan pelanggaran hak asasi manusia, terutama terhadap kelompok etnis dan agama minoritas --75 persen populasi Sri Lanka adalah Buddha Sinhala--serta tuduhan korupsi.
Sang mantan Presiden dengan tegas membantah tuduhan tersebut.
Bisnis Keluarga
Kontroversi tidak menghentikan keluarga Rajapaksa untuk memonopoli politik Sri Lanka: Gotabaya Rajapaksa telah memegang posisi senior di Kementerian Pertahanan, dan dipuji oleh sebagian orang karena caranya menangani perang saudara.
Chamal Rajapaksa bertugas di berbagai kementerian, seperti Pertanian, Perikanan, dan Irigasi.
Adapun adik yang lain, Basil Rajapaksa, memegang jabatan di Kementerian Keuangan dan Pembangunan Ekonomi.
Beberapa kerabat lain dari empat bersaudara itu juga memegang jabatan publik, terutama putra Mahinda Rajapaksa, Namal Rajapaksa, yang baru-baru ini menjabat sebagai Menteri Olahraga Sri Lanka, dan Yoshitha Rajapaksa (Kepala Staf Perdana Menteri sampai ayahnya mengundurkan diri).
Namun, keluarga itu mengalami kemunduran ketika Mahinda Rajapaksa tiba-tiba kalah dalam Pemilihan Presiden 2015.
Mereka kembali berkuasa empat tahun kemudian, kali ini dengan Gotabaya Rajapaksa di kursi Presiden.
Aturan konstitusional menghalangi Mahinda Rajapaksa mencalonkan diri.
Mencalonkan diri dengan agenda nasionalis, sang Presiden baru memanfaatkan asosiasi keluarga itu dengan hukum dan ketertiban: pada April 2019, serangan teroris yang dikaitkan dengan ISIS menewaskan lebih dari 250 orang.
Klaim Korupsi
Namun, tuduhan korupsi terhadap keluarga Rajapaksa tetap ada --nama mereka kembali mengemuka dalam gelombang unjuk rasa hari ini yang disebabkan oleh krisis ekonomi pasca-Covid.
"Banyak orang percaya Mahinda Rajapaksa membuka jalan bagi keluarganya untuk menjarah kekayaan negara demi keuntungan finansial mereka sendiri," tambah Ayeshea Perera.
Papan reklame dan seruan yang menuntut keluarga mengembalikan "uang curian" negara itu adalah pemandangan umum pada unjuk rasa di Sri Lanka.
Anjloknya reputasi Rajapaksa menyebabkan perpecahan dalam keluarga tersebut.
Pada akhir April, berbagai laporan menyebutkan keretakan yang semakin besar antara Mahinda Rajapaksa dan Gotabaya Rajapaksa, diikuti perebutan kekuasaan antara dua bersaudara itu untuk mengendalikan pendukung mereka.
"Gota Go Home"
Kesulitan ekonomi telah mendorong banyak kalangan yang tadinya memilih Gotabaya tapi kini membawa spanduk bertuliskan "Gota Go Home".
Kalimat itu bermakna ganda.
"Gota pulanglah" barangkali plesetan dari ungkapan bahasa Inggris "gotta go home" serta Gota yang merujuk nama panggilan sang Presiden.
Para pengunjuk rasa anti-pemerintah menyerbu kediaman resmi PM setelah kawanan pro-pemerintah pergi ke lokasi unjuk rasa damai di dekat situ dan menyerang para demonstran tersebut.
Tak lama kemudian, bentrokan menyebar ke seluruh negeri, dan pengunjuk rasa yang marah membakar beberapa properti milik keluarga Rajapaksa, termasuk rumah keluarga mereka di Hambantota.
Para pengunjuk rasa juga menghancurkan makam orangtua Rajapaksa serta tugu peringatan yang didedikasikan untuk mereka.
Sebagai presiden, Gotabaya dituduh menyalahgunakan dana negara untuk membangun tugu peringatan tersebut.
Namun, sang Presiden mengatakan, ia tidak berniat untuk berhenti, meskipun hampir semua menterinya sudah mengundurkan diri dan beberapa anggota parlemen menarik dukungan mereka terhadap pemerintah.
Pada Jumat (6/5/2022), Gotabaya Rajapaksa mengumumkan keadaan darurat untuk kedua kalinya dalam sebulan setelah pemogokan massal berbuntut penutupan toko-toko dan bisnis di seluruh negeri.
Mereka mungkin belum sepenuhnya jatuh dari kekuasaan, tetapi keluarga Rajapaksa semakin kehilangan cengkeraman mereka pada politik Sri Lanka yang di masa lalu kelihatannya tak tergoyahkan. [gun]