WahanaNews.co | Penulis asal Tanzania yang saat ini bermukim di Inggris, Abdulrazak Gurnah, dinobatkan sebagai pemenang Nobel Sastra, Kamis (7/10/2021).
Gurnah, 72, merupakan seorang imigran yang mengungsi ke Inggris pada usia 18 tahun.
Baca Juga:
Timnas Indonesia Lawan Tanzania Imbang 0-0 dalam Laga Uji Coba
Gurnah mengatakan, tema migrasi dan pengungsian yang dieksplorasi dalam novel-novelnya saat ini lebih mendesak saat ini, dibandingkan ketika dia memulai karir menulisnya dulu.
Terutama karena saat ini dunia menghadapi fenomena pengungsian besar-besaran dari Suriah, Afghanistan dan sekitarnya.
"Skalanya berbeda," katanya.
Baca Juga:
Jokowi Undang Presiden Tanzania Hadiri Indonesia-Africa Forum
“Apa yang membuatnya berbeda, saya pikir adalah cara orang mempertaruhkan nyawa mereka. Orang-orang mempertaruhkan hidup mereka (untuk berpindah) dari Haiti ke Amerika Serikat beberapa dekade yang lalu, dan itu mengerikan,” ujarnya seperti dikutip dari The Associated Press.
Namun dalam beberapa tahun terakhir, menurutnya sejumlah besar pencari suaka yang melintasi Mediterania atau Sahara telah mengalami skala kengerian yang berbeda.
Dia berharap novelnya dapat membantu orang-orang di negara-negara kaya memahami kemanusiaan dari para migran.
"Apa yang bisa dilakukan fiksi adalah mengisi kekosongan," katanya.
"Dan sebenarnya fiksi memungkinkan orang untuk melihat bahwa, pada kenyataannya, itu adalah cerita rumit yang dihaluskan oleh kebohongan dan distorsi yang terdengar tinggi, menjadi budaya populer yang mengharuskan mereka untuk mengabaikan apa yang tidak ingin mereka dengar."
Gurnah lahir pada tahun 1948 di pulau Zanzibar, yang saat ini menjadi bagian dari Tanzania.
Ia pindah ke Inggris pada akhir 1960-an, untuk melarikan diri dari rezim represif yang menganiaya komunitas muslim Arab, yang merupakan komunitas tempat dia berasal.
Dia mengatakan, dirinya mulai menulis karena 'tersandung'.
Menulis adalah caranya untuk mengeksplorasi kehilangan dan mengekspresikan pengalamannya sebagai emigran.
Gurnah menulis 10 novel, di antaranya adalah 'Memory of Departure', 'Pilgrims Way', 'Paradise', 'By the Sea', 'Desertion' dan 'Afterlives'.
Dia mengeksplorasi kisah yang disebutnya sebagai “salah satu kisah di zaman kita”, yaitu dampak besar dari migrasi, baik pada orang-orang yang tercerabut dari tanah airnya dan bagaimana mereka memulai kehidupan di tempat baru.
Bahasa pertama Gurnah adalah Swahili, tetapi dia menulis dalam bahasa Inggris.
Ia merupakan penulis kelahiran Afrika keenam yang dianugerahi Nobel Sastra.
Penghargaan ini biasanya didominasi oleh penulis asal Eropa dan Amerika Utara, sejak pertama kali diselenggarakan tahun 1901.
Gurnah, yang baru-baru ini pensiun dari pekerjaannya sebagai profesor sastra di Universitas Kent, Inggris, mendapat telepon dari Akademi Nobel ketika sedang berada di dapur rumahnya di Canterbury.
Awalnya, dia menyangka telepon itu adalah lelucon.
"Anda pikir itu tidak benar," katanya kepada The Associated Press.
“Itu benar-benar membuat saya seperti kehilangan napas,” ujarnya.
Anders Olsson, ketua Komite Nobel untuk sastra, menyebut Gurnah sebagai salah satu penulis pasca-kolonial paling terkemuka di dunia.
Dia mengatakan bahwa Gurnah yang berasal dai Zanzibar adalah hal yang penting, karena tempat itu merupakan tempat asal para poliglot jauh sebelum masa globalisasi.
“Karyanya memberi kita gambaran yang jelas dan sangat tepat tentang Afrika lain yang tidak begitu dikenal oleh banyak pembaca. Sebuah daerah pesisir di dalam dan sekitar Samudra Hindia yang ditandai oleh perbudakan dan pergeseran bentuk represi di bawah berbagai rezim dan kekuatan kolonial, yaitu Portugis, India, Arab, Jerman, dan Inggris,” kata Olsson.
Berita tentang kemenangan Gurnah pun disambut meriah di Zanzibar.
Di pulau tersebut, masih banyak yang mengingat Gurnah dan keluarganya, meskipun hanya sedikit yang benar-benar membaca buku-bukunya.
“Buku-buku Gurnah tidak wajib dibaca dan hampir tidak dapat ditemukan di sekolah-sekolah di sana,” kata Menteri Pendidikan Tanzania Simai Mohammed Said, yang istrinya adalah keponakan Gurnah.
Dia menambahkan, Gurnah adalah putra Zanzibar yang membawa kebanggaan bagi negerinya.
“Reaksinya luar biasa. Anak-anak muda bangga bahwa dia adalah orang Zanzibar,” kata Farid Himid.
Farid Himid adalah sejarawan lokal, yang ayahnya pernah menjadi guru Alquran untuk Gurnah muda. [qnt]