WahanaNews.co, Tel Aviv - Serangan brutal dan bertubi-tubi Israel di wilayah Palestina telah mengakibatkan makin meluasnya seruan boikot terhadap produk Israel di seluruh dunia.
Beberapa perusahaan yang menjadi target boikot mulai merasa khawatir. Mereka memberikan penjelasan karena gerakan boikot dilaporkan telah berdampak pada penurunan jumlah pelanggan mereka.
Baca Juga:
Kerap Diserang Israel, PBB Sebut Argentina Jadi Negara Pertama Tarik Pasukan dari UNIFIL
Walaupun belum ada laporan terkini mengenai nilai kerugian yang dialami Israel, laporan Al Jazeera pada tahun 2018 menyatakan bahwa gerakan boikot berpotensi menimbulkan kerugian hingga US$11,5 miliar atau sekitar Rp180,48 triliun (menggunakan asumsi kurs Rp15.694/US$) per tahun bagi Israel.
Israel secara jelas merasa cemas terhadap dampak kerugian ini. Baru-baru ini, fokus utama diplomasi Israel adalah untuk menghadapi gerakan Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS).
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, bahkan telah mengambil langkah-langkah untuk melarang kelompok-kelompok yang mendukung gerakan boikot.
Baca Juga:
Netanyahu Tawarkan Rp79 Miliar untuk Bebaskan Satu Sandera di Gaza
Hal ini disebabkan oleh kekhawatiran bahwa ribuan warga di Israel dapat kehilangan pekerjaan jika negara mereka mengalami boikot penuh dari komunitas internasional.
Melansir dari The Jerusalem Post, Israel membantah bahwa gerakan boikot dapat merugikan mereka. Justru, mereka menyebutkan jika hal itu hanya akan "menambah penderitaan rakyat Palestina, bukan menguranginya."
Brookings Institution, organisasi nirlaba yang berbasis di Washington, Amerika Serikat (AS), menyatakan bahwa gerakan BDS tidak akan secara signifikan memengaruhi ekonomi Israel.
Hal ini disebabkan sekitar 40 persen dari ekspor Israel terdiri dari barang "intermediet" atau produk tersembunyi yang digunakan dalam proses produksi di tempat lain, seperti semikonduktor.
Selain itu, sekitar 50 persen dari ekspor Israel adalah barang "diferensiasi" atau produk yang sulit digantikan, seperti chip komputer khusus.
Meskipun demikian, data dari Bank Dunia menunjukkan bahwa ekspor barang "intermediet" mengalami penurunan yang signifikan dari tahun 2014 hingga 2016, menyebabkan kerugian sekitar US$ 6 miliar atau sekitar Rp 94,16 triliun.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]