WahanaNews.co | Selama Perang Dunia II, sejumlah
pasukan remaja wanita turut bergabung dalam perang "di bawah tanah".
Dalam
catatan sejarah,Freddie Oversteegen (14 tahun) adalah pasukan perlawanan
Belanda dalam melawan Nazi Jerman dan kelompok musuh lainnya.
Baca Juga:
Bantai Wanita dan Anak-anak, Erdogan sebut Kebiadaban Israel Mirip Nazi
Ia
bergabung bersama dengan saudara perempuannya, Truus Oversteegen, dan seorang
wanita muda lain bernama Hannie Schaft, sebagai trio yang bertugas menyabotase
dan membunuh.
Ajaran Ibu
Baca Juga:
Ribut dengan Rusia, Diam-diam Israel Bantu Ukraina
Truus
adalah 2 tahun lebih tua dari Freddie.
Mereka
tumbuh besar di kota Haarlem, Belanda, dengan seorang single mother dari kelas pekerja.
Ibu
mereka adalah seorang komunis dan mengajari mereka tentang pentingnya memerangi
ketidakadilan, sebagaimana catatan cerita dunia yang dilansir dari History.
Pada
1939, saat Eropa berada di ambang perang, Freddie membawa pengungsi Yahudi ke
rumah mereka.
Kakak
beradik itu meneladani ajaran ibu mereka.
"Jika
kamu membantu orang lain, seperti pengungsi, kamu harus berkorban untuk diri
kamu sendiri," kata Jeroen Pliester, Kepala National Hannie Schaft Foundation.
"Saya
pikir itu adalah salah satu pendorong utama mereka, prinsip moral yang tinggi
dan kesiapan ibu mereka untuk bertindak pada saat yang benar-benar
penting," lanjutnya.
Pada
Mei 1940, Nazi mulai menginvasi Belanda hingga akhir Perang Dunia II.
Kelurga
itu kemudian mendistribusikan surat kabar dan pamflet anti-Nazi untuk
perlawanan.
"Kami
juga menempelkan peringatan di poster Jerman di jalan yang memanggil pria untuk
bekerja di Jerman," ujar Freddie, dalam wawancara dengan antropolog, Ellis Jonker, yang dimuat di buku Under Fire: Women and World War II.
Freddie
mengenang momen itu, "(setelah menyebar pamflet) Dan kemudian kita akan
segera pergi, dengan sepeda kita."
Aksi
kakak beradik ini tidak hanya subversif, tetapi juga berbahaya.
Jika
Nazi atau polisi Belanda menangkap mereka, maka mereka bisa dibunuh.
Namun,
para petugas Nazi atau polisi Belanda tidak pernah mencurigai mereka sebagai
tokoh dari gerakan perlawanan, karena usia mereka saat itu yang masih muda.
Apalagi
dengan penampilan rambut berkepang mereka.
Seorang
komandan Kelompok Perlawanan Haarlem mengamati kerja mereka, sehingga pada
1941, ia mengunjungi rumah Oversteegen bersaudara.
Sang
komandan meminta izin kepada sang ibu untuk merekrut kedua putrinya menjadi
anggota perlawanan Haarlem.
Ibu
mereka setuju dan Oversteegen bersaudara juga setuju untuk bergabung.
"Baru
kemudian dia memberi tahu kami apa yang sebenarnya harus kami lakukan, yaitu
menyabotase jembatan dan jalur kereta api," kata Truus kepada Jonker.
"Dan
belajar menembak, untuk menembak Nazi," tambahnya.
"Saya
ingat saudara perempuan saya berkata, 'Ya,
itu adalah sesuatu yang belum pernah saya lakukan sebelumnya"!"
lanjutnya.
Seperti
yang dikatakan sang komandan, Freddie dan Truus belajar menembak Nazi.
Kemudian,
mereka mulai melakukan misi pembunuhan.
Dalam
suatu misi, Truus telah membujuk seorang perwira Schutzstaffel (SS) ke dalam hutan, sehingga seorang dari kelompok
perlawanan dapat menembaknya.
Kemudian,
mereka fokus pada pembunuhan kolaborator Belanda yang menangkap atau
membahayakan pengungsi dan anggota perlawanan Yahudi.
"Mereka
bukan gadis-gadis biasa," kata Bas von Benda-Beckmann, mantan peneliti di
Institut Studi Perang, Holocaust, dan Genosida Belanda.
"Ada
banyak perempuan yang terlibat dalam perlawanan di Belanda, tetapi tidak
sebanyak yanag dilakukan gadis-gadis ini. Tidak banyak contoh wanita yang
benar-benar menembak kolaborator itu sendiri," terang Freddie, yang
dikenal sangat pandai dalam membuntuti target atau mengawasi selama misi,
karena dia terlihat sangat muda dan tidak mudah dicurigai, menurut riwayatnya
dalam cerita dunia.
Kedua
saudara perempuan itu menembak untuk membunuh, tetapi mereka tidak pernah
mengungkapkan berapa banyak Nazi dan kolaborator Belanda yang mereka bunuh.
Benda-Beckmann
mengatakan bahwa terkadang mereka mengikuti target ke rumahnya untuk
membunuhnya, atau menyergap mereka dengan sepeda mereka.
Tugas
mereka yang lain di Kelompok Perlawanan Haarlem termasuk "membawa
(pengungsi) Yahudi ke tempat persembunyian baru, bekerja di rumah sakit darurat
di Enschede... (dan) meledakkan jalur kereta api antara Ijmuiden dan
Haarlem," tulis Jonker.
Pada
1943, mereka bergabung dengan wanita muda lainnya, Hannie Schaft.
Hannie dan Oversteegen Bersaudara
Hannie
adalah mantan mahasiswa yang putus sekolah karena dia menolak untuk
menandatangani janji setia kepada Jerman.
Bersama-sama,
ketiga wanita muda itu menjadi pasukan remaja yang berkomplot untuk menyabotase
dan membunuh para prajurit Nazi dan musuh lainnya.
Bagi
kakak beradik itu Hannie adalah sahabat yang mereka miliki di tengah perang.
Namun,
Nazi berhasil menangkap dan membunuhnya pada 1945, 3 pekan sebelum perang
berakhir di Eropa.
Sejarah
bercerita, "Aku lebih baik ditembak," adalah kata-kata terakhir
Hannie setelah disiksa oleh algojo.
Setelah
perang usai, para wanita itu memiliki luka batin yang membekas tentang
pembunuhan dan kehilangan teman terbaik mereka.
Kakak
beradik itu berusaha mengatasi trauma perangnya.
Truus
mengalihkannya dengan menjadi seorang pematung dan menuliskan ceritanya ke
publik.
Sementara
Freddie, yang menemukan belahan hatinya, akhirnya menikah dan
memiliki anak.
Namun,
pengalaman perang masih membuat mereka susah tidur.
Dalam
sebuah wawancara, Freddie ingat saat melihat seseorang yang dia tembak jatuh ke
tanah, ada sisi kemanusiaannya saat itu ingin menolongnya.
"Kami
tidak merasa itu cocok untuk kami," kata Truss kepada Jonker tentang
pembunuhan mereka.
"Itu
tidak pernah cocok untuk siapa pun, kecuali mereka adalah penjahat
sungguhan," tandasnya.
Riwayat
keduanya sama-sama berakhir di usia 92 tahun.
Truus
pada 2016 dan Freddie menyusulnya 2 tahun kemudian, pada 2018, sehari sebelum dia
berusia 93 tahun.
Selama
sebagian besar umur panjang mereka, Belanda tidak mengakui prestasi para wanita
ini.
Baru
pada 2014, mereka akhirnya menerima pengakuan nasional atas pengabdiannya
terhadap negara dengan menerima Mobilisatie-Oorlogskruis
atau "War Mobilization Cross",
medali Belanda yang diberikan untuk layanan selama Perang Dunia II. [qnt]