WAHANANEWS.CO, Jakarta - Konten bertema “Rp10 ribu di tangan istri yang tepat” mendadak mencuri perhatian publik, memantik perdebatan sengit soal realitas uang belanja dan tekanan sosial yang diam-diam mengintai para perempuan dalam rumah tangga.
Banyak warganet mengapresiasi kreativitas para istri yang mampu menyulap uang terbatas menjadi hidangan sederhana, namun tidak sedikit yang justru mempertanyakan apakah angka Rp10 ribu realistis untuk memenuhi kebutuhan makan satu keluarga dalam sehari.
Baca Juga:
Prabowo Jadi Saksi Langsung Penandatanganan Perdamaian Gaza Bersama Trump, Erdogan, dan Macron
Sebagian orang meyakini bahwa dengan strategi belanja yang tepat, Rp10 ribu masih bisa diolah menjadi menu seperti tempe dan kangkung untuk satu keluarga.
Namun di sisi lain, perhitungan ini terasa jauh dari kondisi nyata jika memperhitungkan biaya minyak, bumbu, gas, listrik, dan kebutuhan lauk tambahan yang tidak bisa dihindari.
Harga bahan pangan yang berbeda di tiap wilayah membuat pembandingan kemampuan mengelola uang belanja menjadi tidak adil.
Baca Juga:
Anak Riza Chalid Didakwa Korupsi hingga Rugikan Negara Triliun
Tren ini bahkan dinilai bisa menstigmatisasi perempuan seolah-olah mereka tidak cukup cakap jika tidak bisa bertahan dengan nominal sekecil itu.
Menurut Nida Adzilah Auliani, Project Lead for Food Policy di Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI), pada Kamis (9/10/2025), cara seseorang membelanjakan uang untuk kebutuhan pangan dipengaruhi faktor eksternal dan internal.
"Secara eksternal, masalahnya ada di keterjangkauan pangan, marketing produk, dan sisi politik kenaikan harga, sedangkan internal berkaitan dengan preferensi rasa dan kemampuan daya beli," ujarnya di Jakarta Pusat.
Nida menegaskan bahwa perhatian utama seharusnya tidak terpaku pada nominal Rp10 ribu, melainkan apakah kebutuhan gizi keluarga bisa terpenuhi dengan layak.
Ia mengingatkan bahwa Indonesia masih menghadapi tantangan triple burden malnutrition, yakni kondisi gizi berlebih, gizi kurang, dan hidden hunger atau kelaparan tersembunyi yang sering tidak disadari.
Dalam kondisi hidden hunger, seseorang memang merasa kenyang karena cukup mengonsumsi karbohidrat, namun tubuhnya tetap kekurangan zat penting seperti vitamin A, yodium, atau zat besi yang tidak banyak tersedia dalam makanan rendah variasi.
"Bisa jadi dia sudah merasa kenyang, tapi tidak mendapatkan asupan zat besi, vitamin A, atau yodium yang sesuai," jelasnya.
Penelitian Lancet Regional Health Southeast Asia pada 2022 mencatat bahwa mayoritas kasus hidden hunger di Indonesia berkaitan dengan defisiensi mikronutrien, sementara data Food and Agriculture Organization (FAO) menyebut dua miliar orang di dunia masih mengalami kekurangan zat gizi mikro.
"Jadi, harga itu bukan indikator utama, yang penting bagaimana kita memastikan protein, karbohidrat, dan mikronutrien lainnya tetap terpenuhi sesuai kemampuan," lanjutnya.
Dokter spesialis gizi klinik Johanes Chandrawinata turut mengingatkan risiko dari tren ini, terutama bagi ibu hamil dan anak yang sangat membutuhkan gizi optimal.
"Anak itu tidak minta dilahirkan, tapi orang tuanya yang menginginkan kehadirannya, karena itu, kebutuhan gizi anak sejak dalam kandungan menjadi tanggung jawab orang tua," ujar Johanes.
Ia menegaskan, jika kondisi ekonomi belum memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan gizi ibu hamil, maka lebih baik menunda kehamilan dengan ber-KB demi menghindari dampak jangka panjang bagi janin.
"Dengan Rp10 ribu, terutama di kota besar, kemungkinan besar yang didapat hanya bahan sederhana dan monoton, kurang gizi selama hamil dapat menyebabkan gangguan tumbuh kembang janin serta risiko kehamilan yang tidak optimal," tegasnya.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]