WAHANANEWS.CO, Jakarta - Beberapa hari terakhir publik diterpa kabar mengejutkan: seorang diplomat muda Kementerian Luar Negeri, Arya Daru Pangayunan atau ADP (39), ditemukan meninggal di kamar kosnya di Menteng, Jakarta Pusat.
Kasus ini langsung memantik tanya, bagaimana mungkin seorang pejabat berpengalaman tewas dalam kondisi begitu janggal, sementara pintu kamarnya terkunci rapat dari dalam?
Baca Juga:
Tudingan Ijazah Jokowi Palsu Dibantah, Polisi: Itu Framing dan Kebohongan
Di tengah sorotan tajam, aparat kepolisian dan pakar kriminologi berpacu mengungkap kebenaran sebelum spekulasi kian liar.
ADP ditemukan tak bernyawa dengan kepala terbungkus lakban dan kamar kos terkunci. Sontak publik bertanya: bila itu bunuh diri, mengapa memilih cara yang amat tidak lazim?
Namun, jika ini pembunuhan, mengapa tak ada tanda kekerasan sama sekali?
Baca Juga:
Ini Kalimat Terakhir Arya Daru Sebelum Ditemukan Tewas Terlilit Lakban di Kos
Kriminolog Universitas Indonesia, Haniva Hasna, mengingatkan bahwa kesimpulan apa pun masih prematur
“Secara kriminologi, ini unnatural suicide (bunuh diri tak wajar). Namun, secara statistik sulit dilakukan seorang diri,” kata Haniva, melansir Kompas.com, Selasa (15/7/2025).
Arah Lakban Jadi Kunci Awal
Menurut Haniva, posisi dan arah lilitan lakban dapat menjadi petunjuk penting. “Kalau ujung lakban dimulai dari mulut, ada kemungkinan korban dibungkam. Kalau terakhir di hidung, ada kemungkinan bunuh diri,” jelasnya.
Meski begitu ia menegaskan enggan berspekulasi sebelum bukti forensik lengkap.
Haniva menambahkan, jika korban bunuh diri seharusnya terlihat reaksi refleks, kasur atau pakaian berantakan akibat tubuh menahan napas.
“Ketika manusia bunuh diri, naluri bertahan hidup akan memicu refleks motorik,” ujarnya.
Ponsel Korban Dinilai Krusial
Selain analisis fisik, ponsel ADP kini jadi fokus penyidik.
“Ponsel itu benda paling dekat dengan korban. Kalau semua datanya terhapus, itu patut dicurigai. Artinya ada kemungkinan intervensi pihak lain. Dan kalau hal itu terjadi, ini bisa merupakan rekayasa,” papar Haniva.
Dalam kasus bunuh diri, korban umumnya meninggalkan pesan tertulis atau digital.
Kriminolog UI lain, Yogo Tri Hendiarto, menekankan pendalaman aspek mental dan sosial korban. Riwayat hubungan kerja, tekanan psikologis, hingga konflik pribadi mesti ditelusuri.
“Harus diketahui juga terkait isu mental, sosial, atau konflik yang korban alami beberapa waktu terakhir,” tuturnya.
Progres Penyelidikan Polisi
Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Karyoto menargetkan penyelidikan tuntas dalam satu minggu.
Berbagai barang bukti, CCTV, laptop, hingga hasil otopsi, sedang dianalisis. Olah TKP lanjutan digelar Jumat (11/7/2025) dengan tim forensik Inafis Polri dan RSCM.
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi menjelaskan pengalihan perkara ke Polda bertujuan mempercepat pengungkapan.
“Tujuannya adalah untuk peningkatan kecepatan proses pengungkapan perkara,” ujar Ade Ary.
Polisi kini menunggu hasil pemeriksaan organ dalam dari tim patologi RSCM serta analisis forensik digital.
“Pada prinsipnya, penanganan kasus ini akan kami tangani dengan sebaik‑baiknya,” tutup Ade Ary.
Para ahli menilai, bila misteri ini tidak terkuak, tak menutup kemungkinan metode serupa ditiru pelaku potensial di masa depan.
Masyarakat pun menunggu, apakah kematian ADP akan terungkap sebagai bunuh diri tak biasa, atau skenario pembunuhan paling rapi di ibu kota?
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]