WahanaNews.co | Keputusan majelis hakim tak menahan terdakwa kasus kekerasan seksual Julianto Eka Saputra atau JE, dipertanyakan Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait.
"Nah lagi-lagi setelah terdakwa, ternyata Julianto tidak ditahan. Padahal wajib untuk ditahan hukumnya. Supaya apa? Supaya tidak menghilangkan barang bukti, tidak melarikan diri, kemudian tidak mempengaruhi saksi," ujar Arist dikutip, Kamis (7/7).
Baca Juga:
Tersangka Razman Nasution Jalani Tes Kesehatan & Sidik Jari di Bareskrim
Terkait dengan itu, pihak Pengadilan Negeri (PN) Malang mengatakan Majelis Hakim dalam proses pemeriksaan di persidangan mempunyai kewenangan untuk menahan atau tidak menahan terdakwa.
“Dalam perkara ini Majelis Hakim belum atau tidak melakukan penahanan," jelas Humas PN Malang Mohamad Indarto dikutip dari CNNIndonesia.com, Jumat (8/7).
Kendati demikian, Indarto mengatakan bahwa persidangan untuk kasus ini belum selesai.
Baca Juga:
Jaksa Penuntut Umum Kejari Bireuen Tangani Kasus Pelecehan Seksual Terhadap Anak
Sebelumnya, Komnas PA melaporkan kasus ini pertama kali pada 29 Mei 2021 lalu.
Arist menjelaskan telah ada gelar kasus yang dilakukan Polda Jawa Timur (Jatim). JE pun ditetapkan sebagai tersangka namun tidak dilakukan penahan.
Ia kemudian bertanya kepada Polda Jatim terkait alasan tidak melakukan penahanan terhadap JE. Polda Jatim, kata Arist, tidak menahan yang bersangkutan karena dianggap kooperatif.
Menurut Arist, JE mestinya segera ditahan sejak ditetapkan sebagai tersangka.
"Tidak ditahan dan tidak ditangkap oleh Polda Jatim karena dianggap kooperatif. Kooperatif yang bagaimana? Mau kooperatif, mau apapun itu karena ancamannya di atas 5 tahun harus ditahan," ujar Arist.
Arist juga mengatakan ketika JE ditetapkan sebagai tersangka, JE sempat melakukan gugatan praprearadilan terhadap Polda atas status tersangkanya. Akan tetapi, Pengadilan Negeri Surabaya menolak gugatan sehingga JE tetap berstatus tersangka.
Usai ditolak, Kejaksaan Tinggi pun menyatakan berkas perkara kasus JE lengkap (P21). JE pun disidang dan didakwa dengan Pasal 82 UU 17/2016 dengan ancaman minimal 5 tahun dan maksimal 20 tahun.
Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Kota Batu menjerat Julianto dengan pasal alternatif. Julianto terancam hukuman penjara minimal 3 tahun dan maksimal 15 tahun.
Julianto didakwa dengan sejumlah pasal yakni Pasal 81 ayat 1 jo Pasal 76 D Undang-Undang tentang Perlindungan Anak, juncto Pasal 64 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Kemudian, Pasal 81 ayat 2 UU tentang Perlindungan Anak, juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP, Pasal 82 ayat 1, juncto Pasal 76e UU Perlindungan Anak, juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP dan Pasal 294 ayat 2 ke-2 KUHP, juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Sebagai informasi, motivator sekaligus pendiri SMA Selamat Pagi Indonesia (SPI) Julianto Eka Saputra terlibat dalam kasus kekerasan seksual terhadap belasan anak didiknya.
Kasus itu diduga terjadi sejak 2009 lalu. Para korban, kata Arist, masih duduk di bangku sekolah saat peristiwa itu terjadi.
Arist mengungkapkan korban tak hanya dilecehkan di kawasan sekolah. Melainkan juga dilecehkan saat berada di luar negeri. JE membawa korban ke luar negeri dengan dalih sebagai hadiah karena dianggap telah berprestasi.
"Mereka itu dibuat kamuflase lah seperti itu. Hadiah kepada anak-anak yang dianggap prestasi oleh Julianto. Dibawalah jalan-jalan ke Singapore, dibawalah jalan-jalan ke Malaysia, dibawalah jalan-jalan naik kapal pesiar, dibawa ke Eropa dan sebagainya. Tetapi terjadilah peristiwa di sana di luar negeri juga. Bahkan di rumah pribadi pelaku," kata Arist.
Para korban juga dilaporkan menerima berbagai aksi bejat pelaku. Mereka dirudapaksa hingga 10-15 kali dengan segala bentuk tindak kekerasan seksual. [tum]