WahanaNews.co, Jakarta - Aksi kekerasan oleh aparat kepolisian kepada warga Pulau Rempang, Batam, Kamis (7/9) kemarin dikritik Institute for Security and Strategic Studies (ISESS).
Pengamat Kepolisian dari ISESS Bambang Rukminto menilai penggunaan kekuatan berlebihan atau excessive use of power yang berujung pada timbulnya aksi kekerasan terhadap warga sudah harus dihentikan oleh kepolisian.
Baca Juga:
Saat Amankan Kericuhan di PPD Kobakma, Kapolres Mamboro Tengah Terkena Panah
"Perbedaan pandangan terkait pelaksanaan keputusan pemerintah tidak bisa diselesaikan dengan cara-cara kekerasan yang mencederai hati nurani masyarakat," jelasnya saat dikonfirmasi, Jumat (8/9/2023) melansir CNNIndonesia.
Menurutnya, pelbagai dampak kekerasan yang dialami warga, termasuk soal gas air mata yang dirasakan oleh anak-anak, menunjukkan bahwa aparat kepolisian tidak memahami betul aturan yang mereka miliki.
Terlebih, kata Bambang, polisi telah mempunyai tiga aturan jelas terkait penggunaan kekuatan dan tindakan yang harus diambil saat berhadapan dengan massa aksi.
Baca Juga:
Jemaat GPIB dan GABK di Cawang Jakarta Timur Bentrok, Ini Pemicunya
Mulai dari Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, Perkap Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Polri, dan Perkap Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tata Cara Lintas Ganti dan Cara Bertindak dalam Penanggulangan Huru Hara.
"Kekerasan aparat negara di Pulau Rempang ini menunjukkan bahwa jajaran Kepolisian belum memahami peraturan yang dibuatnya sendiri," tuturnya.
Oleh karenanya, Bambang mendorong agar pemerintah maupun DPR untuk membentuk tim independen dan mengusut penggunaan kekerasan secara berlebihan yang dilakukan aparat kepolisian.