WahanaNews.co | Mantan Anggota Dewan Energi Nasional (2009-2014), Mukhtasor, mengatakan pemerintah
harus mencari jalan tengah agar rencana pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga
Surya (PLTS) Atap tidak membebani APBN dan PT PLN (Persero).
Baca Juga:
Per Maret 2024, Sri Mulyani Sudah Tarik Utang Baru Rp104,7 Triliun
"Kalau di
jaringan PLN harus bayar. Padahal salah satu misi BUMN itu untuk keuntungan.
Kalau yang diuntungkan sebagian, maka tidak akan berlangsung lama," ujarnya
dalam diskusi bertajuk "Roadmap Pengembangan EBT di Indonesia" yang
digelar E2S secara virtual, Kamis (19/8/2021).
Menurut
Mukhtasor, Pemerintah perlu mencari jalan tengah sebagai alternatif dari
rencana Kementerian ESDM merevisi Peraturan Menteri (Permen) ESDM No 49/2018
tentang Penggunaan Sistem PLTS Atap oleh konsumen PLN, agar APBN dan PLN tidak
terbebani.
Hal itu terkait
dengan perubahan rasio ekspor-impor listrik dari 65% menjadi 100% dalam revisi
tersebut, yang mengesankan menihilkan biaya saat listrik dari PLTS Atap dititipkan
atau masuk ke jaringan PLN.
Baca Juga:
Menkeu Sri Mulyani Sebut Pembangunan IKN Habiskan Rp72,1 Triliun dari APBN
Mukhtasor
mengaku telah mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo dan menteri
ESDM yang mengusulkan untuk mencari jalan tengah. Pasalnya, PLTS Atap
penggunaan mahal, namun pemakaian sedikit. Kondisi ini menurutnya bisa membuat
portofolio PLN tidak bagus.
"Persoalan
di PLN justru kontribusinya bukan di PLN itu sendiri, tapi ada dari IPP
(Independent Power Producer), sponsor dan lainnya. Untuk IPP feed in tariff
maka harga akan naik dan ada risiko over supply," kata guru besar Institut
Teknologi 10 November Surabaya tersebut.
Mukhtasor
mengatakan, jika selisih harga listrik PLTS Atap dibayar oleh APBN, maka itu
akan membebani keuangan negara. Itupun dengan asumsi negara mampu
mengalokasikan dana khusus di APBN untuk investasi EBT. "Khusus PLTS Atap
saya sampaikan ke Presiden ada jalan tengah bagi semua pemangku kepentingan dan
menjadi model gotong royong sebagai bangsa," ujarnya.
Negara, tegas
Mukhtasor, harus mengambil peran kepemimpinan dan terdepan dalam transisi
energi dengan mengintegrasikannya lewat transisi industri nasional di bidang
EBT di dalam negeri. "Saya tidak ingin solusinya parsial yang akan
memberatkan negara. solusinya harus komprehensif dengan cara rantai pasok
diperkuat karena sudah ada tinggal nanti business to business," ungkapnya.
Menurut
Mukhtasor, jika pemerintah memberikan kompensasi atau insentif, jangan
diberikan di hilir, namun di hulu. Caranya dengan menurunkan biaya modal. Di
hulu industri pemasok PLTS diberikan kompensasi, akhirnya kalau pasang PLTS
Atap harganya lebih murah dan PLN tidak akan terganggu.
Sementara,
Kepala Ekonom The Indonesia Economic Intelligence Sunarsip menekankan soal
kondisi pasokan listrik di Jawa dan Bali yang sudah kelebihan pasokan. Gagasan
baru dengan mengembangkan EBT melalui PLTS Atap, tegas dia, harus
diperhitungkan kondisi kelebihan pasokan yang terjadi saat ini.
"Jangan
sampai pengembangan masif PLTS Atap malah membebani PLN dan keuangan negara.
Yang menjadi catatan bahwa sebenarnya target rencana induk energi disusun
dengan asumsi yang optimistis, padahal realisasinya kita tidak selalu mengalami
pertumbuhan ekonomi sampai 7%," ujarnya.
Pada kesempatan
itu, Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Ditjen EBTKE Kementerian
ESDM Chrisnawan Aditya mengatakan, prinsip yang dipegang pemerintah sebagai
regulator adalah harus imbang. "Bahwa regulasi itu tidak bisa memuaskan
semua pihak, ketika timbangan lebih berat ke utility, akan ada reaksi dari
pihak lain," ujarnya.
Dia juga menyanggah
bahwa revisi Permen ESDM soal PLTS Atap mendorong harga ekspor-impor listrik
akan naik dari 65% ke 100%. "PLTS Atap tidak untuk diperjualbelikan, yang
kita tingkatkan adalah nilai ekspornya," kata dia.
Menurut dia,
berdasarkan survei, nilai ekspor dari PLTS Atap adalah 20% lalu dikalikan 100%.
Pengguna PLTS Atap pasti akan menggunakan untuk sendiri lebih dulu, sisanya
diekspor. "Apakah nanti pendapatan PLN berkurang, sudah kami lakukan
kajian. Memang pendapatan PLN akan turun," kata dia. [rin]