WahanaNews.co | Terkait kasus pemalsuan surat yang terjadi di Bandung, Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Bandung, Jawa Barat memberikan keputusan bebas kepada terdakwa Hendra Djaja. Hal tersebut menjadi pertanyaan sekaligus menuai kekecewaan dari korban pemalsuan surat tersebut.
"Kasus ini sudah jelas melawan hukum sesuai dengan fakta-fakta persidangan dan bukti yang otentik," ujar kuasa hukum korban, Djonggi M Simorangkir saat dihubungi Senin (10/1/2022).
Baca Juga:
Sidang Praperadilan Pegi Setiawan Diputus hari Senin
Dalam petikan putusan PN Bandung di situs web Mahkamah Agung (MA), disebutkan bahwa putusan vonis dibacakan pada 14 Desember 2021, oleh majelis hakim yang diketuai Taryan Setiawan dengan hakim anggota Sontan Merauke Sinaga dan A Gede Susila Putra.
Dalam perkara ini, terdakwa didakwa atas Pasal 263 ayat 1, Pasal 264 ayat 2, Pasal 266 ayat 1 dan Pasal 266 ayat 3 KUHP tentang pemalsuan surat.
"Menyatakan terdakwa Hendra Djaja tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam dakwaan alternatif pertama, kedua, ketiga atau keempat. Membebaskan terdakwa Hendra Djaja oleh karena itu dari seluruh dakwaan alternatif penuntut umum," demikian bunyi amar putusan yang tercantum dalam situs web MA, Senin.
Baca Juga:
Soal Putusan Ubah Syarat Usia Kepala Daerah, Ketua MA Tutup Mulut
Djonggi pun mempertanyakan keputusan majelis hakim. Dalam tuntutan yang dibacakan jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Negeri Bandung, terdakwa dinilai bersalah sebagaimana dakwaan alternatif kedua Pasal 263 ayat 2 dengan tuntutan 2,5 tahun penjara.
Menurut Djonggi, kasus ini sudah jelas melawan hukum, sesuai dengan fakta-fakta persidangan dan bukti yang autentik.
Untuk itu, menurut Djonggi, pihaknya mengajukan kasasi serta pengaduan ke MA dengan nomor pengaduan 01.30/P/XII/2021 tentang permohonan perlindungan hukum, serta keadilan sebagai korban atas putusan bebas terhadap terdakwa Hendra Djaja.
Kasus ini bermula pada 2018, saat terdakwa menemui korban untuk membicarakan masalah uang korban yang didepositokan terdakwa ke sebuah bank sebesar Rp 30 miliar.
Selama ini, korban hanya mengambil bunga depositonya saja, sedangkan deposito pokoknya belum dapat diambil. Belakangan baru diketahui bahwa bank yang menjadi tempat penyimpanan deposito itu tak bisa mencairkan deposito pokok milik korban.
Terdakwa pun akhirnya mendatangi korban dan menyatakan akan membayar dengan cara diangsur setiap bulannya Rp 100 juta. Terdakwa kemudian menerbitkan sembilan bilyet giro dengan nominal beragam.
"Namun, setelah giro tersebut diserahkan ke korban, terdakwa malah membuat laporan polisi kehilangan giro yang membuat giro tersebut diblokir oleh bank dan tidak dapat dicairkan. Akibatnya, korban mengalami kerugian hingga Rp 1,4 miliar," ucap dia. [bay]