WahanaNews.co | Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita, menjelaskan, pemerintah menargetkan produksi mobil
listrik low carbon emission vehicle
(LCEV) pada 2030 nanti sebanyak 600 ribu unit.
Adapun produksi motor listrik sebanyak
2,450 juta unit.
Baca Juga:
Menperin: Anggaran Bukan Segala-galanya, Butuh Dukungan DPR Untuk Lahirkan Kebijakan Pro Industri
Target tersebut, tambah Menperin, juga diharapkan bisa mengurangi
produksi emisi gas buang CO2 2,7 juta ton kendaraan roda empat dan lebih, serta
1,1 juta ton dari kendaraan roda dua.
Realisasinya tertuang dalam Peraturan
Menteri Perindustrian Nomor 27 Tahun 2020 tentang Spesifikasi, Peta Jalan
Pengembangan, dan Ketentuan Penghitungan Nilai Tingkat Komponen Dalam Negeri
Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai.
Bagi industri manufaktur, pemerintah
juga telah menawarkan berbagai insentif mencakup tax holiday, mini tax holiday,
tax allowance, pembebasan bea masuk,
bea masuk ditanggung pemerintah, dan super
tax deduction untuk kegiatan riset dan pengembangan.
Baca Juga:
Kemenperin: SDM Kreatif Topang Industri Furnitur Semakin Inovatif
"Selain itu dalam rangka
industrialisasi electric vehicle, pemerintah memberikan insentif fiskal dan non
fiskal bagi konsumen, sebesar 0 persen dalam PP 74 2021, juga pajak BBNKB 0
persen di DKI Jakarta, serta 10 persen di Jawa Barat," terangnya, dalam Investor Daily Summit
2021, Rabu (14/7/2021).
Agar mempercepat iklim penggunaan
kendaraan ramah lingkungan, Menperin juga akan menetapkan peraturan pembelian
kendaraan listrik di lingkungan instansi pemerintah.
Targetnya pembelian kendaraan listrik
roda empat sebanyak 32.983 unit sementara kendaraan roda dua mencapai 398.530
unit.
Sejauh ini, beberapa
instansi yang mulai ke arah sana adalah Kementerian Perhubungan dan Pemprov
Jawa Barat.
"Indonesia adalah pasar penjualan
dan produksi otomotif terbesar di ASEAN. Proyeksinya akan tumbuh dengan
tambahan 2 juta produksi pada tahun 2025, ini bisa menjadi peluang untuk
mengembangkan electric vehicle,"
lanjutnya.
Untuk mencapai itu, Indonesia dengan
cadangan bahan baku baterai berupa nikel terbesar di dunia, juga harus bisa
menguasai salah satu rantai pasok baterai, yang menjadi jantung dari semua
kendaraan listrik berbasis baterai.
Sehingga nantinya diharapkan bukan
cuma mengimpor baterai dan mengekspor sumber daya mineral, tetapi juga
memanfaatkan potensi nilai tambah produk berupa baterai jadi dan kendaraan
listrik.
Agus mengatakan, saat ini sudah ada sembilan perusahaan yang mendukung industri
baterai.
Terdiri atas lima perusahaan penyedia
bahan baku dan sisanya produsen baterai.
"Dengan demikian Indonesia mampu
mendukung rantai pasokan baterai untuk kendaraan listrik mulai dari bahan baku,
kilang, manufaktur sel baterai, perakitan, manufaktur kendaraan listrik dan
daur ulang," terangnya.
Direktur Utama PT Industri Baterai
Indonesia (IBI), Toto Nugroho,
menambahkan, meski punya pasar dan didukung dari sumber daya yang besar,
Indonesia juga dihadapkan pada sejumlah tantangan.
Soal lisensi teknologi baterai yang
belum sepenuhnya dikuasai dan nilai investasi.
"Membangun industri baterai
menuju kelas dunia dengan kapasitas 140 GWh kita membutuhkan investasi dan
timeline panjang. Dari segi timeline 3 sampai 4 tahun, dari sisi investasi
nilai yang kita butuhkan 15,3 miliar USD (atau setara Rp 222,4 triliun),"
katanya.
Namun, jelas
Toto, sudah ada 2 raksasa baterai yang berinvestasi besar dalam
pengembangan baterai di Indonesia, yakni LG Energy Solution dari Korea Selatan
dan Contemporary Amperex Technology
(CATL) dari China.
"Ekspansi menjadi pemain baterai
global adalah sesuatu yang dapat kita raih. Dengan produksi 140 GWh, kita
menjadi pemain baterai sel mungkin kebutuhan 20 persen di dunia, jadi sudah
termasuk pemain global yang mendunia," tuntasnya. [qnt]