WahanaNews.co, Jakarta - Penurunan tren pernikahan tidak hanya terjadi di Jepang dan Korea Selatan, Indonesia juga mengalami hal serupa.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), dalam kurun waktu 10 tahun terakhir sejak 2023, terjadi penurunan sebesar 28 persen.
Baca Juga:
BKKBN Sulut dan Pemkab Minahasa Selatan Libatkan Pakar Identifikasi Penyebab Stunting
Jika diperinci, jumlah pernikahan selama tahun lalu mencapai 'hanya' lebih dari 1,5 juta, mengalami penurunan sekitar dua juta dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya yang mencapai 1,7 juta laporan perkawinan.
Hasto Wardoyo, Kepala BKKBN, mengonfirmasi laporan ini, tetapi menyatakan bahwa data yang diinput di BPS hanya terkait perkawinan dalam konteks agama Muslim.
Hal ini disebabkan oleh catatan dari sistem informasi manajemen nikah (SIMKAH) di kantor urusan agama (KUA), yang belum mencakup perkawinan non-Muslim.
Baca Juga:
BKKBN Sulut Tekankan Pentingnya Dukungan Pemangku Kepentingan Turunkan Angka Stunting
Dengan kata lain, data tersebut tidak sepenuhnya mencerminkan gambaran lengkap di lapangan.Misalnya, data terendah perkawinan menurut BPS di 2023, tercatat di Papua.
"Karena apa? Itu mungkin dari SIMKAH, kalau dari simkah itu rendah karena banyak non muslim, tidak tercatat di sana," terangnya, melansir Detik, Senin (11/3/2024).
Angka Kesuburan Terendah
Laporan penurunan pernikahan jelas sejalan dengan angka kesuburan wanita atau total fertility rate (TFR). Rupanya, menurut Hasto, TFR di Indonesia sudah berada di angka 2,1 per 2023. Artinya, satu wanita melahirkan satu anak perempuan.
Menurun signifikan jika dibandingkan pada 2017. Jika tren penurunan TFR terus mencatat rekor terendah, laju pertumbuhan penduduk bisa berdampak, dikhawatirkan juga berpengaruh pada tantangan bonus demografi yang membutuhkan jumlah SDM lebih banyak.
"Analisis saya memang ini cocok dengan yang namanya total fertility rate (TFR), itu artinya rata-rata perempuan melahirkan berapa anak rata-rata perempuan, ini kan kalau di 2017 angkanya masih cukup tinggi 2,4 hampir 2,5," sebut Hasto.
"Ternyata perempuan dengan jumlah anaknya menurun lebih cepat daripada ekspektasi pemerintah," sambung dia.
Secara umum, penyebab angka perkawinan menurun di Indonesia relatif tidak jauh berbeda seperti apa yang terjadi di banyak negara maju. Hal ini banyak berkaitan dengan kondisi finansial, sampai masalah pendidikan, dan pengaruh tempat tinggal.
Dari segi pendidikan, semakin tinggi tingkat pendidikan yang dicapai, semakin besar kemungkinan orang tersebut hanya memiliki satu anak atau bahkan tidak memiliki anak.
"Sebetulnya bukan semakin pendidikan tinggi, ekonomi cukup, anaknya banyak, karena daerah-daerah yang agak ketinggalan itu cenderung anaknya lebih banyak, kawinnya banyak," terang dia.
Untuk mencegah penurunan laju populasi, perlu diterapkan kebijakan yang mengatur disparitas angka Total Fertility Rate (TFR) di berbagai daerah.
Penting dicatat bahwa TFR yang tinggi tercatat di NTT, Papua, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Sumatera Barat, Sumatera Utara, hingga Aceh.
Sementara itu, provinsi-provinsi dengan TFR yang rendah terletak di Daerah Istimewa Yogyakarta, DKI Jakarta, Bali, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Utara.
"Perlu adanya rancangan untuk mengendalikan semua ini agar disparitas antar provinsi tidak terlalu besar, pertumbuhan penduduk berjalan seimbang, dan rata-rata satu perempuan mampu melahirkan satu anak. Perlu juga waspada terhadap tingkat perceraian yang cukup tinggi dan signifikan," pungkasnya.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]