WahanaNews.co | Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga mendorong komitmen pemerintah daerah (Pemda) melaksanakan penguatan fungsi Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Menteri PPPA menyampaikan UPTD PPA diharapkan dapat melaksanakan tata kelola baru one stop services sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
Baca Juga:
Arifah Fauzi Sebut 3 Program Prioritas Kemen PPPA Butuh Sinergi Antar Kementerian dan Lembaga
“Terobosan penting dari UU TPKS salah satunya tentang memperkuat penyelenggaraan layanan terpadu melalui mekanisme one stop services penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. UU TPKS mengamanatkan 11 (sebelas) fungsi penyedia layanan perlindungan perempuan dan anak dari yang sebelumnya hanya 6 (enam) layanan,” kata Menteri PPPA dalam Rapat Koordinasi Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak, belum lama ini.
Menteri PPPA menyampaikan saat ini UPTD PPA baru terbentuk di 33 provinsi dan 257 kabupaten kota.
Oleh karenanya, masih dibutuhkan upaya untuk mendorong pembentukan UPTD PPA di seluruh kabupaten/kota dan provinsi dan meningkatkan tata kelolanya.
Baca Juga:
Kemen PPPA Terbitkan Pedoman Mekanisme Koordinasi Perlindungan Anak Korban Jaringan Terorisme
“Untuk mengawal implementasi mekanisme penanganan kasus kekerasan degan system one stop services, kami telah menyiapkan peraturan turunan UU TPKS yang terdiri dari 3 (tiga) Peraturan Pemerintah dan 4 (empat) Peraturan Presiden, dimana salah satunya membahas terkait UPTD PPA. Kami juga bekerjasama dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk mempercepat pembentukan di daerah. Selain itu, komitmen pemerintah daerah mulai dari gubernur, bupati dan walikota di daerah setempat juga berperan penting dalam mengawal pembentukan dan meningkatkan fungsi UPTD PPA,” tutur Menteri PPPA.
Menteri PPPA mengatakan untuk mendukung melaksanakan 11 fungsi layanan tersebut perlu dilakukan berbagai upaya penguatan bagi UPTD PPA, mulai dari peningkatan kapasitas SDM penyedia layanan, sarana dan prasarana yang baik dan dukungan anggaran yang memadai.
“Berbagai penguatan telah kami upayakan untuk mendukung mekanisme one stop services UPTD PPA. Salah satu upayanya melalui pemberian Dana Alokasi Khusus (DAK) Non Fisik Perlindungan Perempuan dan Anak kepada dinas yang mengampu urusan pemerintahan di bidang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Di tahun 2021, kami menggelontorkan DAK Non Fisik sebesar 101 miliar kepada 250 kabupaten/kota dan 34 provinsi. Setiap tahun selalu ada peningkatan, hingga di tahun 2023 kami berhasil menggelontorkan DAK Non Fisik ke 275 Kabupaten/Kota,” tutur Menteri PPPA.
Melanjutkan hal tersebut, Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak, Nahar menyampaikan melalui diundangkannya UU TPKS, daerah diwajibkan menyesuaikan tata kelola UPTD PPA sesuai dengan mandat undang-undang dalam jangka waktu 2 (dua) tahun.
Sedangkan bagi daerah yang belum memiliki UPTD PPA diwajibkan untuk membentuknya dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun.
Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan, Ratna Susianawati turut menyampaikan upaya Kemen PPPA dalam rangka menguatkan kerangka kebijakan dan teknis pelaksanaan UPTD PPA melalui peraturan turunan UU TPKS. Ratna berharap dukungan seluruh pihak agar 7 (tujuh) peraturan turunan tersebut dapat segera disahkan, salah satunya peraturan yang berkaitan dengan UPTD PPA agar dapat menjadi acuan bagi pelaksanaan di seluruh provinsi dan kabupaten/kota.
11 (sebelas) fungsi penyedia layanan perlindungan perempuan dan anak yang difasilitasi UPTD sesuai dengan mandat UU TPKS, yakni; 11 (sebelas) fungsi penyedia layanan perlindungan perempuan dan anak yang difasilitasi UPTD sesuai dengan mandat UU TPKS, yakni; (1) menerima pelaporan atau penjangkauan korban; (2) menyampaikan informasi terkait hak korban.
(3) memfasilitasi pemberian layanan; (4 ) memfasilitasi pemberian layanan penguatan psikologi; (5) memfasilitasi pemberian layanan psikososial, rehabilitasi sosial, dan reintegrasi sosial; (6) menyediakan layanan hukum; (7) mengidentifikasi kebutuhan pemberdayaan ekonomi.
Dan (8) mengidentifikasi kebutuhan penampungan sementara untuk korban dan keluarganya yang perlu dipenuhi segera; (9) memfasilitasi kebutuhan korban penyandang disabilitas; (10) mengkoordinasikan pemenuhan hak korban dengan lembaga lainnya; dan (11) memantau pemenuhan hak korban oleh APH selama proses acara peradilan.
[Redaktur: Zahara Sitio]