Oleh
GATOT RAHARDJO
Baca Juga:
Dampak Erupsi Gunung Lewotobi, Bandara Bali Batalkan 90 Penerbangan Dalam Sehari
PATUT diacungi jempol upaya asosiasi maskapai penerbangan sipil
Indonesia (INACA) yang berupaya mencari jalan keluar bagi maskapai nasional
yang hidupnya sangat sulit di masa pandemi Covid-19 ini.
Bekerja sama dengan tim riset dari Universitas
Padjajaran (Unpad) Bandung, INACA menggagas white paper atau semacam
peta jalan menuju pemulihan kesehatan maskapai nasional.
Baca Juga:
Ternyata Ini Penyebab Kenapa Traveler Sering Jet Lag Saat Naik Pesawat
Pada pertengahan April lalu, INACA dan tim
Unpad menggelar webinar, setelah sebelumnya menggelar tiga kali Focus Group
Discussion dengan tema yang serupa.
Dalam paparannya, tim riset Unpad memaparkan
bahwa bisnis penerbangan nasional akan mulai membaik secara optimis pada 2022.
Namun kajian tim juga menyatakan bahwa kondisi
optimis tersebut sulit dicapai dan memaparkan ada kondisi moderate yaitu
pada tahun 2024 dan kondisi pesimis tahun 2025.
Sedangkan penerbangan internasional yang
dilakukan di Indonesia, optimis membaik pada tahun 2023, moderate tahun
2025 dan pesimis tahun 2026.
"Semua itu tergantung dari penanganan pandemi
Covid-19 di tanah air, terutama percepatan vaksinasi pada masyarakat," ujar
Yayan Satyakti, ketua tim peneliti dari Unpad tersebut.
Yayan sendiri meyakini bahwa kondisi moderate
lebih mungkin terjadi.
Hal senada disampaikan juga oleh Ketua Asosiasi
Pengusaha Indonesia (APINDO), Hariyadi Sukamdani, dan Ketua Masyarakat Hukum
Udara Indonesia, Andre Rahardian, yang menjadi penanggap dalam webinar tersebut.
Artinya, dalam kondisi seperti saat ini,
maskapai penerbangan domestik akan kembali seperti sedia kala pada tahun 2024
dan penerbangan internasional pada tahun 2025.
Dengan asumsi, sekali lagi, penanganan pandemi
dan terutama program vaksinasi massal oleh pemerintah terjadi as usual
seperti saat ini.
Maskapai di Ujung Tanduk
Sektor penerbangan, nasional maupun global,
memang menjadi salah satu sektor yang terdampak paling parah dari pandemi
Covid-19.
Data PT Angkasa Pura 1, dari 15 bandara besar
yang dioperasikannya pada tahun 2020 lalu tercatat pergerakan penumpang turun
61 persen dibanding tahun 2019, dari 81,95 juta menjadi 31,85 juta pergerakan
penumpang.
Sedangkan pergerakan kargo udara turun 7,4
persen dari 481,18 ribu ton menjadi 445,13 ribu ton.
Pergerakan pesawat turun 45,3 persen, dari
704.669 pergerakan menjadi 385.345 pergerakan.
Artinya dalam setiap penerbangan pesawat
rata-rata hanya mengangkut 82,6 orang.
Jika kapasitas tiap pesawat rata-rata 180
kursi, maka tingkat keterisian (load factor) hanya 45,8 persen.
Sedangkan data dari PT Angkasa Pura 2, dari 19
bandara yang dioperasikan, jumlah pergerakan penumpang hanya 35,54 juta
pergerakan.
Sedangkan pergerakan pesawat 412.186
pergerakan. Rata-rata keterisian pesawat dengan demikian hanya sekitar 49
persen.
Dengan load factor di bawah 50 persen,
tentu dapat dikatakan maskapai-maskapai kita sedang tidak sehat.
Apalagi jika melihat harga jual tiket yang
tarifnya rata-rata juga berada di batas tengah hingga batas bawah dari tarif
yang ditentukan oleh Kementerian Perhubungan.
Pendapatan maskapai pun sangat minim. Bisa
dikatakan, maskapai kita sudah jatuh tertimpa tangga.
Jika merujuk pada riset INACA dan Unpad di
atas, masih perlu 4 tahun lagi atau minimal satu tahun ke depan kondisi
penerbangan domestik yang menjadi tulang punggung bisnis maskapai nasional,
akan normal.
Jadi maskapai masih harus dalam kenestapaan
hingga menuju kondisi aman tersebut.
Sanggupkah maskapai nasional bertahan?
Jika merujuk pada data saat ini, dari 14
maskapai besar (penumpang dan kargo) terdapat dua maskapai yang kondisinya
kritis dan berhenti beroperasi sementara.
Yang lainnya juga tak kalah kritis dan bahkan
mengurangi kapasitas bisnis hingga lebih 50 persen.
Akibatnya, lebih dari setengah pesawat tidak
terbang, yang artinya adalah lebih dari separuh pegawai maskapai juga
menganggur termasuk pilot, pramugari, teknisi dan lain-lain.
Begitupun bisnis-bisnis lain terkait seperti
bandara, MRO, ground handling dan sebagainya juga mengurangi kapasitas
bisnisnya.
Kebijakan pemerintah yang melarang masyarakat
mudik pada lebaran tahun 2020 dan 2021 ini, menambah pukulan telak bagi bisnis
maskapai.
Karena pada musim mudik lebaran itulah maskapai
panen, baik dari sisi jumlah penumpang maupun harga tiket.
Namun semua harus dilupakan, karena jika mudik
diperbolehkan dikhawatirkan penyebaran Covid-19 lebih parah lagi.
Tanpa panen, maskapai tentu harus berjuang
lebih keras agar bisnisnya tidak terus menurun dan bangkrut.
Menurunnya bisnis penerbangan juga berpengaruh
besar pada menurunnya bisnis sektor lain seperti pariwisata.
Dan pada akhirnya, juga membuat pertumbuhan
perekonomian nasional menurun.
Di sisi lain, kondisi bisnis maskapai yang
kritis juga dikhawatirkan mempengaruhi perawatan pesawat dan pengelolaan
keselamatan penerbangan yang memerlukan biaya besar.
Kita tentu tidak ingin terjadi lagi kecelakaan
pesawat yang merenggut banyak korban jiwa dan mencoreng muka bangsa Indonesia.
Peran Pemerintah
Dalam kondisi yang demikian, beban tidak
seharusnya diserahkan pada maskapai sepenuhnya.
Bisnis penerbangan sudah menjadi tulang
punggung bagi perekonomian Indonesia yang wilayahnya berbentuk kepulauan ini.
Apalagi bisnis penerbangan diatur secara ketat
oleh pemerintah.
Bahkan saat maskapai mengikuti aturan pun,
pemerintah seringkali mengeluarkan kebijakan yang mengintervensi aturan dan
tentu saja juga intervensi bisnis maskapai.
Misalnya pada tahun 2019 di mana pemerintah
mengeluarkan kebijakan intervensi terhadap harga tiket yang dijual maskapai,
padahal maskapai menjual tiket masih dalam koridor tarif yang dikeluarkan
sendiri oleh pemerintah.
Oleh karena itu, dalam masa menuju kondisi normal
dari pandemi Covid-19, pemerintah harus ikut campur.
Penanganan pandemi dan vaksinansi massal harus
dilakukan secara cepat dan tepat, sehingga cepat terjadi herd immunity
dan meningkatkan kepercayaan masyarakat untuk terbang.
Kementerian Perhubungan sebagai regulator
penerbangan juga harus ikut aktif mengatur, mengawasi dan mengendalikan, tidak
saja keselamatan penerbangan tapi juga bisnis komersial maskapai.
Kargo udara yang selama pandemi terdampak
paling kecil, bisa dilakukan pengaturan lebih baik sehingga menguntungkan
maskapai dan tidak terjadi perang tarif yang merugikan.
Aturan tarif mungkin sudah saatnya untuk
ditinjau kembali. Izin rute dan slot pun begitu.
Stimulus pemerintah, seperti diungkapkan Andre
Rahardian, bisa diberikan pada maskapai untuk menurunkan biaya operasional dan
mempertahankan industri penerbangan nasional.
Jika pemerintah merasa kerepotan untuk
mengurusi bisnis penerbangan nasional ini, bisa menggandeng para profesional
independen di bidang penerbangan untuk mengurusnya.
Pemerintah bisa fokus pada penanganan
keselamatan dan keamanan nasional, sekaligus memberi rambu-rambu terhadap
pengaturan bisnis penerbangan nasional.
Apa yang sudah dilakukan oleh INACA dan tim
dari Unpad harus diapresiasi. Diharapkan tim ini dapat bekerja secara
independen.
Di sisi lain, pemerintah juga diharapkan
memberi dukungan, jangan lagi melakukan intervensi berlebihan seperti
tahun-tahun sebelumnya.
Kerja ini harus dilakukan cepat namun juga
cermat dan tepat. Begitupun hasilnya harus dapat diimplementasikan hingga
mencapai tujuannya.
Karena, di sinilah masa depan bangsa Indonesia
dipertaruhkan. (Gatot Rahardjo, Pengamat
Penerbangan, Analis Independen Bisnis Penerbangan Nasional)-dhn
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan
judul "Nasib Maskapai Indonesia di Ujung Tanduk", lihat untuk
baca: tekno.kompas.com/read/2021/04/20/11030017/nasib-maskapai-indonesia-di-ujung-tanduk