WahanaNews.co | Setelah 1,5 tahun berjalan, program Kartu Prakerja berdampak cukup signifikan di tengah situasi sulit akibat pandemi. Sejak gelombang 1 dibuka pada 11 April 2020 hingga pengumuman penerima gelombang 20, program ini sudah menjangkau 10,6 juta penerima manfaat.
Direktur Eksekutif Manajemen Pelaksana Program Kartu Prakerja Denni Puspa Purbasari menuturkan, berdasarkan data mereka, 89 persen penerima Kartu Prakerja tak memiliki pekerjaan atau pengangguran saat mereka mendaftar program ini.
Baca Juga:
Labura Siapkan Pemuda Mandiri Lewat Pelatihan Las
Bukan hanya menganggur karena PHK, tetapi juga dari fresh graduates atau lulusan baru yang sedang mencari kerja.
Hal tersebut ia sampaikan ketika memberikan kuliah umum dalam Forum Pembangunan Indonesia Magister Ekonomi Kependudukan dan Ketenagakerjaan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia.
"Di sinilah Kartu Prakerja hadir memberi solusi tidak hanya untuk mereka yang terkena pemutusan hubungan kerja akibat pandemi, tapi menjadi program pengembangan kompetensi para pencari kerja dan juga pekerja yang membutuhkan peningkatan kompetensi, termasuk pelaku usaha mikro dan kecil," ujar Denni dalam keterangan tertulis, Jumat (17/9/2021).
Baca Juga:
Tuntaskan Angka Penggangguran, Heri-Sholihin Bakal Bangun Rumah Kerja di Tiap Kecamatan
Berbicara di depan para mahasiswa program pascasarjana, ia kembali memaparkan salah satu tantangan ketenagakerjaan di Indonesia yakni tidak berkualitasnya sisi suplai pasar tenaga kerja. Dari 135 juta jumlah angkatan kerja Indonesia saat ini, 90 persen di antaranya belum pernah mengikuti pelatihan bersertifikat.
Dari 7 juta pengangguran, sebanyak 91 persen di antaranya belum pernah mengikuti pelatihan bersertifikat.
"Sayangnya, baik perusahaan maupun pekerja kita cenderung tak peduli dengan skilling, upskilling, dan reskilling sebagai upaya peningkatan kualitas angkatan kerja," kata Denni.
Dari sisi invididu, mengutip penelitian Bank Dunia, para pekerja menempatkan pelatihan peningkatan skill dalam peringkat paling buncit atau terakhir (10) pada prioritas pengeluaran pribadinya.
"Sebanyak 64 persen tidak mengikuti pelatihan peningkatan skill karena merasa tidak tersedia pelatihan yang sesuai dengan minat dan keterampilannya," papar Denni. Begitu pula dari sisi manajemen.
Perusahaan juga sedikit sekali menganggarkan dana untuk pelatihan bagi pengembangan karyawannya. "Hanya 44 perusahaan yang memberikan pelatihan kepada pekerja karena merasa tidak ada kebutuhan untuk itu," lanjut dia.
Kondisi ini, kata Denni, menunjukkan terjadinya kegagalan pasar dalam menghasilkan tingkat pelatihan kerja yang optimal. Oleh karen itu, program Kartu Prakerja hadir untuk memberikan beasiswa pelatihan meskipun pada situasi pandemi, ada sifat semi-bansos yang diembannya. [rin]