WahanaNews.co | Nurjanah (64), pedagang tahu tempe di Pasar Lembang, Ciledug, cuma
bisa mengelus dada tatkala pembeli yang mampir ke kios mungilnya mengeluhkan
kenaikan harga tahu tempe.
Ia mengaku pasrah, meski kupingnya
ikut panas mendengar "jeritan" pembeli.
Baca Juga:
Kunjungi Lampung, Mendag Hadiri Gerakan Tanam Kedelai di Tanggamus
"Iya, naik seribu (Rp 1.000) per
balok berukuran 20 cm," jawab Nurjanah sabar, dari
balik masker putih yang dikenakannya, kepada wartawan, Selasa (5/1/2021).
Biasanya, ia menjual setiap balok
tempe seharga Rp 5.000. Tapi, karena kelangkaan tempe belakangan ini, imbasnya ia
mengerek harga jual menjadi Rp 6.000 per balok.
Alih-alih langka, pasokan tempe bahkan
sempat benar-benar nihil sejak tahun baru di saat petani kedelai menggelar aksi
mogok, imbas kenaikan harga kedelai impor.
Baca Juga:
Turunkan Harga Kedelai, Mendag Ganti Selisih Harga
"Sempat nggak jualan beberapa
hari. Libur karena tidak ada pasokan tahu tempe, stok nihil," keluh
Nurjanah.
Karenanya, lapaknya yang baru dibuka
hari ini langsung diserbu pembeli. Bahkan, ia bercerita, belasan
balok tempe terjual dalam waktu kurang dari 10 menit.
Ia menduga banyak pembeli merindukan
santapan tempe di meja makan mereka.
Tak jauh dari tempat Nurjanah
berjualan, Yuyun (49), seorang pembeli, tengah asyik berbelanja untuk lauk sarapan
paginya.
Tangan Yuyun yang tadinya sibuk
memilah tahu goreng, sontak terhenti ketika ia mendengar
harga tahu naik Rp 1.000 untuk setiap 4 buah.
"Loh kok Rp 5.000?
Biasanya kan segini Rp 4.000," protesnya.
Dahi Yuyun berkerut, karena si penjual enggan menurunkan harga tahu seperti yang
ditawarnya, apalagi ia mengklaim sudah menjadi pelanggan tetap.
Pun demikian, Yuyun mengalah. Dengan
berat hati, ia merogoh kocek lebih dalam.
"Memberatkan pasti," ujarnya, sambil melenggang menuju perburuan selanjutnya.
Cerita berbeda datang dari Asep (23),
pedagang gorengan yang mangkal di mini market sekitar Parung, Tangerang.
Ia mengaku tidak menaikkan harga jual
gorengannya, termasuk tahu tempel ke pembeli.
Asep merinci, gorengan
tahu, tempe, molen, bakwan, cireng, dan singkong tetap dibanderol Rp 1.000 per
potong, meskipun bahan baku beberapa gorengan naik. Bahkan,
kenaikannya mencapai lebih dari 30 persen.
Ia mencontohkan, tempe balok ukuran 25 cm yang biasanya dibeli seharga Rp 7.000,
kini menjadi Rp 10 ribu.
Namun, ia pun tak berdaya menaikkan
harga jual gorengan, karena khawatir tidak ada pembeli yang mampir ke lapaknya.
"Kalau dinaikin, nanti nggak ada
yang mau beli gorengan," tuturnya, resah.
Kekhawatiran Asep ialah bila harga
tahu tempe tidak kunjung turun. Berarti, untung yang dikantonginya bisa lebih
tipis dari biasanya, karena terpaksa menutup modal yang lebih mahal.
Ketua Bidang Organisasi DPP IKAPPI, Muhammad Ainun Najib, sempat berujar
bahwa tahu dan tempe memang menghilang di pasar tradisional, karena perajin menyetop produksi mereka.
Hal itu dikarenakan perajin kewalahan
membeli kedelai sebagai bahan baku tahu tempe lantaran harganya "selangit".
"Memasuki 2021, kita dikejutkan
oleh beberapa bahan pangan yang mencuri perhatian. Salah satunya, kedelai atau
tahu tempe yang sempat hilang dari peredaran beberapa hari lalu," imbuh
dia.
Padahal, menurut Muhammad, harga
kedelai seharusnya tidak setinggi itu karena stok di dalam negeri masih cukup
banyak.
Mengutip data dari Sekretaris Jenderal
Kementerian Perdagangan Suhanto, stok kedelai di dalam negeri tembus 450 ribu
ton.
Jumlah itu seharusnya masih cukup
untuk memenuhi kebutuhan kedelai dengan harga normal bagi perajin tahu dan
tempe.
Kenyataannya, harga kedelai justru
semakin mahal dari importir.
"Importir memberlakukan harga ke
perajin sama seperti harga kenaikan kedelai yang terjadi saat ini, sehingga
stok itu dijual dengan harga yang sekarang," jelas Muhammad.
Hal ini yang kemudian membuat perajin
tahu dan tempe menjerit dan memilih menekan rem produksi, sehingga kelangkaan
tahu dan tempe terjadi di tingkat konsumen.
Menurutnya, kondisi ini terjadi karena
pemerintah minim pengawasan di lapangan, khususnya terkait stok dan distribusi
kedelai dari importir.
Nasib Perajin Tahu-Tempe di Kuningan
Sementara itu, sejumlah perajin
tahu dan tempe di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, juga mengeluhkan
makin tingginya harga kedelai di pasaran.
Jika harga normal kacang kedelai impor
hanya Rp 6.800/kg, kini angkanya menembus Rp 9.100/kg untuk kualitas medium.
Kondisi ini tentu mengancam pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), khususnya bagi perajin tahu dan tempe. Sebab, bahan baku utama dalam pembuatan olahan makanan itu adalah
kedelai.
Misalnya saja, perajin
tahu di Kecamatan Kuningan, Asep. Ia mengaku, jika harga kedelai terus
mengalami kenaikan, maka usahanya terancam gulung tikar.
"Kalau terus naik, usaha saya bisa
rugi. Karena kalau menaikkan harga tahu pasti nanti pembelinya
berkurang," ujarnya, Selasa (5/1/2021).
Ia menyebut, kenaikan harga kedelai
ini sudah hampir selama satu bulan terakhir. Jangan sampai harga kedelai makin
naik, karena sangat memberatkan usahanya.
Hal senada disampaikan Sutrisno.
Pengusaha tahu lamping di Kecamatan Kuningan ini menyebut, harga kedelai naik
secara bertahap selama satu bulan ini.
"Kalau harga kacang kedelai impor
sudah Rp 9.100/kg untuk kualitas medium, harga normalnya itu Rp 6.800/kg.
Kenaikan harganya bertahap sudah satu bulan ini, sekarang sudah sangat
memberatkan. Kalau harganya terus naik sampai Rp 10.000/kg, saya sudah putuskan
untuk berhenti usaha tahu," tandasnya.
Akibat harga bahan baku yang mahal, ia mencari cara agar tidak terlalu merugi. Terpaksa ukuran tahu
yang diproduksi lebih diperkecil dari biasanya.
"Saya masih jual tahunya sama, tidak naik, hanya ukuran saja lebih kecil. Kalau tidak begitu,
saya bisa terus rugi," katanya.
Walau harga naik, pihaknya tidak
terlalu kesulitan dengan bahan baku kedelai. Hanya saja, meski bahan baku kedelainya cukup lancar, namun
harganya makin naik.
"Kami berharap perhatian pemerintah
dari masalah ini, semoga harga kacang kedelai ini bisa kembali normal agar
usaha kami tetap berjalan. Minimal kalau tidak bisa normal di harga Rp
6.800/kg, setidaknya bisa stabil di harga Rp 7.000/kg saja agar kami bisa tetap
produksi," tutupnya.
Jejak Digital Janji Jokowi
Memasuki tahun 2021, produsen tahu dan
tempe menghentikan produksinya. Salah satu penyebabnya adalah harga kedelai
yang melambung tinggi.
Sampai saat ini, Indonesia adalah
importir terbesar kedelai di dunia.
Melihat ke belakang, dalam kampanye Pemilihan Presiden tahun 2014 silam, pasangan
Jokowi dan Jusuf kalla berjanji akan menyetop impor pangan, termasuk kedelai.
Menurut Jokowi, Indonesia yang
memiliki kekayaan alam berlimpah dengan tanah yang subur ini seharusnya jadi
negara pengekspor.
"Kita harus berani stop impor
pangan, stop impor beras, stop impor daging, stop impor kedelai, stop impor
sayur, stop impor buah, stop impor ikan. Kita ini semuanya punya kok,"
kata Jokowi di Gedung Pertemuan Assakinah, Cianjur, Jawa Barat, Rabu
(2/7/2014).
Menurut Jokowi kala itu, pemerintah
harus menghentikan impor untuk memicu agar para petani lebih semangat melakukan
produksi.
Jokowi pun memuji beras Cianjur yang
pulen dan wangi.
"Bayangkan, kita jerih payah produksi,
eh ada impor. Kejadian itu yang membuat kita malas berproduksi. Oleh sebab itu,
petani harus dimuliakan," ucapnya.
Namun, sampai
saat ini, Indonesia adalah negara dengan konsumsi kedelai terbesar di dunia
setelah China.
Rata-rata kebutuhan kedelai di Indonesia
mencapai 2,8 juta ton per tahun. Hal itu berdampak pada impor kedelai yang juga
tetap besar.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat,
impor kedelai Indonesia sepanjang semester-I 2020 mencapai 1,27 juta ton atau
senilai 510,2 juta dollar AS atau sekitar Rp 7,24 triliun (kurs Rp 14.200).
Sebanyak 1,14 juta ton di antaranya
berasal dari Amerika Serikat (AS).
Indonesia sebenarnya pernah mengalami
swasembada kedelai pada tahun 1992. Saat itu, produksi
kedelai dalam negeri mencapai 1,8 juta ton.
Sementara, saat ini produksi kedelai
menyusut drastis, tinggal di bawah 800.000 ton per
tahun, dengan kebutuhan nasional sebesar 2,5 juta ton, terbanyak untuk
diserap industri tahu dan tempe.
Dalam nota keuangan tahun anggaran
2021, pemerintah menargetkan produksi kedelai 420.000 ton pada tahun 2021.
Pada tahun ini, produksi diperkirakan
berkisar 320.000 ton atau lebih rendah dibandingkan produksi tahun 2019 yang
mencapai 420.000 ton. [dhn]