WahanaNews.co | Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mendorong beroperasinya kembali Pelabuhan Perikanan Benjina di Kepulauan Aru, Maluku.
Pelabuhan yang dikelola swasta itu sempat meredup setelah mencuatnya kasus kerja paksa dan perbudakan anak buah kapal asing oleh perusahaan yang mengoperasikan kapal-kapal milik Thailand.
Baca Juga:
KKP Sebut Aturan Ekspor Pasir Laut Rampung Maret 2024
Sebelumnya, Pelabuhan Perikanan Benjina dimiliki dan dikelola oleh grup perusahaan Pusaka Benjina hingga 2014.
Namun, pelabuhan itu nyaris berhenti beroperasi setelah pemerintah memproses hukum pelanggaran pidana dan administrasi oleh PT Pusaka Benjina Resources, terkait tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dan penggunaan anak buah kapal (ABK) asing pada kapal-kapal perikanan.
Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono, dalam kunjungan ke Pelabuhan Perikanan Benjina, mendukung penuh pelabuhan tersebut beroperasi kembali untuk menggenjot geliat perikanan di Maluku, serta penerapan kebijakan penangkapan terukur.
Baca Juga:
Menteri KKP Ungkap Maling Ikan di Laut RI: Rumah di PIK Punya 80 Kapal
Tenaga ABK diwajibkan tenaga lokal.
”Persiapkan dengan baik agar pada tahun 2022 pelabuhan ini dapat segera dioperasikan dan roda perekonomian bergerak,” ujar Menteri Trenggono dalam keterangan tertulis, Selasa (30/11/2021).
Bupati Kepulauan Aru, Johan Gonga, mengatakan siap membantu memperbaiki fasilitas pelabuhan demi kelancaran operasional pelabuhan, antara lain fasilitas pokok seperti dermaga, drainase, kolam pelabuhan.
Selain itu, fasilitas fungsional seperti tempat pemasaran ikan, fasilitas air bersih, es dan listrik, dan pemeliharaan kapal.
Secara terpisah, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Muhammad Zaini Hanafi, mengemukakan, Pelabuhan Perikanan Benjina kini dikelola oleh PT Industri Perikanan Arafura.
Perusahaan itu mengambil alih aset pelabuhan milik Pusaka Benjina.
”Pelabuhannya milik Benjina yang dulu, diambil alih,” katanya.
Beroperasinya kembali pelabuhan itu juga dalam rangka penerapan sistem kontrak penangkapan ikan.
Ia meminta agar bukan hanya kapal-kapal milik perusahaan yang bisa sandar di pelabuhan tersebut, tetapi juga kapal-kapal lain milik swasta.
Pelabuhan Benjina memiliki dermaga dengan kapasitas tampung hingga 100 kapal dengan panjang dermaga hingga 62 meter.
Seiring rencana kembali beroperasinya pelabuhan perikanan itu, kapal-kapal yang sudah lama bersandar dan mengalami kerusakan tengah dalam perbaikan.
Total ada 36 kapal yang diperbaiki di Ambon.
Tahun 2015, Menteri Kelautan dan Perikanan 2014-2019, Susi Pudjiastuti, menetapkan sanksi pencabutan izin usaha perikanan dan izin usaha penangkapan ikan PT Pusaka Bahari, menyusul terungkapnya kasus perbudakan dan perikanan ilegal.
Selain itu, mencabut persetujuan penanaman modal asing (PMA) atas nama PT Pusaka Benjina Armada, PT Pusaka Benjina Nusantara, serta mencabut izin prinsip PMA untuk PT Pusaka Benjina Resources.
Dari catatan media, total kapal di Grup Pusaka Benjina 92 kapal penangkapan ikan dan 9 kapal pengangkut ikan.
Indikasi perbudakan terhadap anak buah kapal (ABK) asing pada kapal-kapal yang dioperasikan PT Pusaka Benjina Resources awalnya diberitakan Associated Press.
Ada ABK yang mengaku diperlakukan tidak manusiawi, antara lain dipaksa bekerja 20-22 jam per hari, dikurung, disiksa, dan tidak mendapatkan upah.
Jangan Terulang
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch Indonesia, Mohammad Abdi Suhufan, menilai, peralihan kepemilikan perusahaan harus dapat dipastikan telah mengikuti proses bisnis dan tata kelola sesuai ketentuan perseroan terbatas.
Di samping itu, pemerintah diminta meningkatkan instrumen pengawasan agar tidak lagi terulang sejumlah kejahatan yang mencoreng wajah Indonesia, seperti kasus perbudakan, hasil perikanan yang dilarikan ke luar negeri, dan penggunaan ABK asing.
”Di tengah upaya pemerintah menggenjot investasi, instrumen pengawasan perlu ditingkatkan. Selain itu, penguatan dan mekanisme pengawasan publik. Jangan sampai, kejahatan yang merusak wajah perikanan Indonesia terulang,” katanya.
Abdi mengingatkan, hingga saat ini kasus kerja paksa di usaha kapal perikanan masih terus terjadi.
Dari data Fishers Centre, hingga saat ini tercatat 30 kasus pelanggaran ketenagakerjaan berupa kerja paksa.
Dari jumlah itu, sejumlah 15 kasus di antaranya berlangsung di Kepulauan Aru yang menimbulkan korban 70 ABK.
Pelanggaran itu antara lain berupa penelantaran, gaji tidak dibayar, serta tidak adanya asuransi dan jaminan sosial. [qnt]