WahanaNews.co | Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Febrio Kacaribu, menilai, Indonesia masuk peringkat tertinggi dalam proses transisi energi di negara berkembang.
"Hal ini menunjukkan sinyal yang kuat tentang keseriusan Indonesia dalam menangani risiko perubahan iklim," kata Febrio, dalam keterangan resminya, Senin (1/11/2021).
Baca Juga:
Maksud Hati Cegah Kiamat Batubara, Apa Daya China-India Malah Kena Murka
Karena itu, pemerintah terus mengoptimalkan keterlibatan Indonesia di berbagai forum internasional.
Termasuk Conference of the Parties ke-26 (COP26) United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) sebagai sarana mengkatalisasi kerja sama dalam memitigasi dan mengatasi dampak perubahan iklim.
Baca Juga:
Heboh! India dan China Tolak Hapus Batubara di KTT COP26
Pertemuan COP26
Febrio berpendapat, COP26 merupakan pertemuan yang sangat penting karena menjadi pertemuan tingkat tinggi pertama yang mengevaluasi kemajuan sejak Persetujuan Paris diadopsi pada 2016.
Dari pertemuan tersebut, 191 negara harus menetapkan target yang lebih ambisius dalam kontribusinya untuk aksi perubahan iklim.
"COP26 menjadi harapan besar bagi banyak pihak, termasuk bagi para menteri keuangan hingga lembaga keuangan multilateral dalam menyelesaikan komitmen terkait penurunan emisi," ungkap dia.
Salah satu tema penting dalam COP26 adalah terkait peran pendanaan iklim.
Negara maju wajib menyediakan sumber pendanaan untuk membantu negara berkembang mengambil tindakan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Indonesia telah mendorong upaya agar negara maju dapat menunjukkan aksi nyata dukungan pendanaannya terhadap negara berkembang, sesuai dengan beberapa isu pembahasan di bawah agenda pendanaan iklim COP26, yakni pembiayaan jangka panjang, dengan negara maju akan memobilisasi dana sampai USD 100 miliar per tahun mulai 2020.
Ia menuturkan, Indonesia, khususnya Kemenkeu, telah mengawal pembahasan agenda ini dalam berbagai ruang, namun seiring dengan hal itu Indonesia akan terus melakukan aksi nyata dalam penurunan emisi.
"Prioritas utama penurunan emisi gas rumah kaca tersebut berada pada sektor kehutanan, sektor energi, dan transportasi. Ketiga sektor ini telah mencakup 97 persen dari total target penurunan emisi Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia," tutur Febrio.
Untuk mendukung hal tersebut, Indonesia melakukan penetapan nilai ekonomi karbon atau yang sering disebut carbon pricing melalui Peraturan Presiden mengenai Nilai Ekonomi Karbon (NEK), dengan skema utama yang meliputi perdagangan karbon, pungutan atas karbon, dan result-based payment.
Pemerintah juga secara nyata menunjukkan dukungan terhadap isu perubahan iklim melalui pengenalan pajak karbon dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang akan dilakukan secara bertahap dengan memperhatikan perkembangan pemulihan ekonomi serta kesiapan sektor, dimulai dari sektor PLTU batu bara. [dhn]