WahanaNews.co
| Pernahkah
Anda mengira bahwa selama pembangunan Jalan Tol Layang Jakarta-Cikampek (Japek)
atau Tol Japek II Elevated, minim kemacetan?
Ya, hal ini karena pembangunan jalan bebas
hambatan berbayar yang kini bernama Jalan Layang Sheikh Mohamed Bin Zayed (MBZ)
tersebut menggunakan teknologi Landas Putar Bebas Hambatan (LPBH), atau lebih
dikenal sebagai Sosrobahu.
Baca Juga:
Tinjau Tol Solo - Yogyakarta, Menteri Dody: Segmen Klaten - Prambanan Dibuka Fungsional Mendukung Kelancaran Nataru 2025
Bukan teknologi mutakhir, tetapi Sosrobahu
sudah lama ditemukan dan lebih dahulu diterapkan pada 27 Juli 1988 untuk
pembangunan Tol Wiyoto Wiyono atau Tol Cawang - Tanjung Priok.
Sejak saat itu, teknologi Sosrobahu
sudah tak lagi digunakan, bak ditelan bumi. Dan, baru-baru ini saja digunakan
kembali pada pembangunan Tol Layang Japek.
Lantas, bagaimana awal ditemukannya teknologi
yang melancarkan pembangunan dua jalan bebas hambatan di Indonesia tersebut?
Baca Juga:
Perhatikan Aspek Keselamatan Pengendara, Pembangunan Jalan Tol Ciawi-Sukabumi Terus Dilanjutkan
Mengutip Harian Kompasedisi 7
Agustus 1988, teknologi tersebut awalnya ditemukan oleh insinyur sekaligus
Direktur Utama PT Hutama Karya (Persero) yang menjabat kala itu, yakniTjokorda
Raka Sukawati.
Raka, panggilan akrabnya, mengklaim, teknologi
itu merupakan yang pertama di dunia dalam bidang angkat dan putar beban berat,
orisinal, dan berdasarkan rumus fisika mekanika.
Seperti telah disebutkan, teknologi ini pertama
kali ditemukan dan digunakan pada pembangunan Tol Wiyoto Wiyono.
Pada saat itu, Raka ditunjuk sebagai ketua
manajemen proyek dan harus memutar otak untuk membangun tol tersebut.
Pasalnya, jalan bebas hambatan itu dibangun di
atas jalan yang sudah ada dan padat kendaraan.
Putra Bali ini pun mengusulkan agar pembangunan
Tol Wiyoto Wiyono dilakukan dengan cara konvensional.
Mulai dari bekisting, pembangunan segmental,
hingga menggantung blok beton dengan beban 480 ton.
Namun, usulan itu ditolak anggota tim ahli
lainnya, lantaran berpotensi mengganggu arus lalu lintas, memakan waktu, dan
biaya serta berisiko tinggi.
Pantang menyerah, dia lalu mengusulkan untuk
membuat kepala tiang yang akan diputar menggunakan alat pemutar.
Kemudian, baru dipasang bekisting kepala tiang
atau sejajar dengan jalan di tengah. Setelah beton cukup kuat, bekisting pun
bisa diputar.
Tak disangka-sangka, gagasan tersebut akhirnya
diterima oleh anggota tim ahli lainnya.
Namun, persoalan baru muncul, bagaimana ide
Raka tersebut bisa diwujudkan.
"Saya berusaha tenang, karena kalau mau
berpikir normal, pendapat mereka ada benarnya. Memutar beban seberat 450 ton
memang bukan pekerjaan mudah, itulah tantangan terbesar yang harus saya hadapi
dan selesaikan," ungkap Raka.
Saat sedang bingung dan tak tahu harus berbuat
apa, Raka tetap menjalankan aktivitas dan hobinya mengotak-atik Mercedes Benz
keluaran Tahun 1974 kesayangannya itu.
Ketika bersiap memperbaiki kendaraannya, bagian
depan mobil kemudian diangkat dengan dongkrak.
Dengan demikian, menyisakan dua roda belakang
yang bertumpu di lantai yang licin karena ceceran tumpahan oli.
Begitu disentuh, badan mobil berputar pada
titik sumbu dongkrak sebagai penopang.
Rupanya, hal yang tidak disengaja ini menjadi
inspirasi bagi Raka untuk melahirkan Sosrobahu.
Berbekal hukum fisika sederhana, yaitu pascal
untuk mengangkat beban dan memutarnya, Raka langsung mendesain peralatan yang
menurut perhitungannya dapat mengangkat beban berat.
Saat melakukan percobaan pertama, dia mengalami
kegagalan.
Semua direksi datang menyaksikan saat pompa
hidrolik dengan tekanan di atas 80 ton itu diputar.
"Awalnya semua lancar. Namun kemudian
timbul masalah, karena saat dilepas, bagian atasnya tidak mau turun. Melihat
kegagalan ini, semua direksi pergi, angkat tangan, dan menyerahkan semua urusan
kepada saya," tutur Raka.
Tak berhenti sampai disitu, Raka lantas meminta
bantuan beberapa kolega dalam menyempurnakan temuannya itu.
Singkat cerita, dia berhasil melakukan uji coba
dan memberanikan diri menyampaikan keberhasilan temuannya ini ke Departemen
Pekerjaan Umum (PU) dan anak Presiden kedua RI Soeharto, Siti Hardiyanti
Rukmana alias Tutut.
Kala itu, Tutut menjabat sebagai Direktur Utama
PT Jaya Lamtoro Gung (JLG).
JLG merupakan salah satu dari empat perusahaan
nasional yang menggarap Tol Wiyoto Wiyono.
Selain JLG, ada tiga perusahaan lainnya yang
berkontribusi pada pembangunan tol tersebut, yaitu Hutama Karya, Krakatau
Steel, dan perusahaan semen Tiga Roda.
Kepada Tutut, Raka meminta bantuan untuk dibuat
sebuah pondasi berukuran 8 meter x 1,5 meter yang diisi pasir.
Namun, tak hanya dibuatkan satu oleh Tutut,
tetapi dibuat 16 buah sekaligus.
"Waduh, ini masalah baru, bagaimana jika
saya gagal melakukan ini, berapa biaya yang akan terbuang sia-sia? Hal yang
lebih penting lagi, bagaimana saya akan mempertanggungjawabkan masalah
ini," kenang Raka.
Raka pun khawatir berlebihan, jika hal itu
gagal, karir dan reputasi yang telah lama dia bangun selama bertahun-tahun bisa
hancur.
Saat bayang-bayang ketegangan membayanginya,
Raka mengingat pesan Soeharto agar proyek pertama yang digarap secara nasional
ini diselesaikan tepat waktu dan memiliki kualitas mumpuni.
Bahkan, Raka diminta agar menemukan hal-hal
baru dalam pekerjaan itu.
Hingga akhirnya, 27 Juli 1988 silam, menjadi
hari bersejarah bagi teknologi Sosrobahu, temuan Raka ini.
Tepat pukul 22.00 WIB, ratusan mata bersiap
menyaksikan pemutaran lengan beton seberat 440 ton tersebut.
Setelah melapor kepada Tutut, Raka lantas naik
ke podium konstruksi. Saat berdoa, ia mengaku mendengar bisikan yang menyebut
angka 78.
Raka lantas meminta tim untuk memulai proses
pemutaran lengan beton.
Berdasarkan perhitungan awal, seharusnya lengan
benton diperkirakan bergerak pada tekanan 105 kilogram per sentimeter persegi.
Namun, dia meminta agar tim menggerakkan hingga
mencapai tekanan 78 kilogram per sentimeter persegi.
Ajaibnya, lengan beton itu akhirnya berputar
tepat saat tekanan berada pada angka 78.
"Badan saya gemetar, air mata bercucuran
tanpa bisa saya tahan. Di bawah sorotan ratusan lampu kamera, riuh tepuk
tangan, serta kumandang lagu Padamu Negeri, saya menangis
tersedu-sedu," kenang Raka.
Keberhasilan Raka ini pun dilirik banyak negara,
seperti Filipina, Malaysia, Thailand, dan Singapura, yang menggunakan teknologi
tersebut hingga saat ini. [dhn]