WahanaNews.co | Maskapai penerbangan pelat merah, Garuda
Indonesia, tengah mengalami kondisi keuangan yang tidak sehat.
Seperti dilansir Bloomberg, Direktur Utama Garuda Indonesia, Irfan Setiaputra, mengatakan bahwa Garuda memiliki utang sekitar Rp 70 triliun
atau setara 4,9 miliar dollar AS.
Baca Juga:
Wamildan Tsani Panjaitan Dirut Baru Garuda Indonesia
Angka tersebut meningkat sekitar Rp 1 triliun
setiap bulan, karena terus menunda pembayaran
kepada pemasok.
Perusahaan ini memiliki
arus kas negatif dan utang minus Rp 41 triliun, akibat kegagalan
menjalankan program restrukturisasi.
"Dapat mengakibatkan perusahaan
dihentikan secara tiba-tiba," jelas Irfan, seperti
dilansir Bloomberg, Minggu
(23/5/2021).
Baca Juga:
Paus Fransiskus Pilih Menu Nasi Goreng di Pesawat ke Papua Nugini
Diketahui, volume penumpang Grup
Garuda mengalami penurunan 66 persen tahun lalu, karena
pembatasan dan permintaan domestik yang terbatas.
Pada pertengahan 2020, maskapai juga
telah mencutikan sekitar 825 staf, setelah sebelumnya memotong gaji.
Garuda Indonesia berpotensi mengurangi
jumlah pesawat yang dioperasikan menjadi kurang dari setengah armada utamanya.
Irfan Setiaputra mengatakan, hal
tersebut dilakukan untuk bertahan dari krisis yang ditimbulkan oleh danpak
pandemi.
"Kami harus melalui
restrukturisasi yang komprehensif," jelas Irfan Setiaputra.
"Kami memiliki 142 pesawat, dan perhitungan awal kami tentang bagaimana kami melihat
pemulihan ini telah berjalan, kami akan beroperasi dengan jumlah pesawat tidak
lebih dari 70," sambungnya.
Diketahui, pernyataan tersebut merujuk
pada armada maskapai Garuda Indonesia.
Namun, tidak
termasuk di unit usaha maskapai bertarif rendah, yakni Citilink.
Krisis Covid-19 telah memaksa puluhan
maskapai penerbangan dan bisnis penerbangan lainnya, termasuk
Thai Airways International Pcl, Latam Airlines Group SA, dan lessor AeroCentury Corp untuk
merestrukturisasi atau mencari perlindungan kebangkrutan.
Sementara perjalanan udara di beberapa
negara mulai pulih saat peluncuran vaksinasi semakin cepat, kembali ke tingkat
lalu lintas sebelum pandemi masih membutuhkan waktu bertahun-tahun karena virus bermutasi dan pemerintah mengambil pendekatan
berbeda untuk membuka perbatasan.
Asosiasi Transportasi Udara
Internasional telah memperingatkan operator secara global akan kehilangan
sekitar 48 miliar dollar AS pada tahun 2021 di tengah kemunduran dalam memulai
kembali perjalanan. [dhn]