WahanaNews.co | Tren peningkatan utang pemerintah mendapat banyak sorotan dari berbagai pihak.
Terbaru, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberi peringatan karena indikator kerentanan utang 2020 melampaui batas yang direkomendasikan IMF dan/atau International Debt Relief (IDR).
Baca Juga:
Utang Israel Mencapai 160 Miliar Shekel pada 2023, Rp697,38 Triliun
Menurut data BPK, peningkatan utang lebih pesat ketimbang pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) dan penerimaan pajak.
Total utang pemerintah hingga akhir September 2021 mencapai Rp 6.711,52 triliun.
Tapi, utang yang saat ini membebani keuangan negara memang bukan dimulai saat Jokowi memimpin saja, sudah ada sejak presiden sebelumnya.
Baca Juga:
Jusuf Hamka Tagih Utang ke Pemerintah Sebesar Rp800 Miliar
Berikut ini rangkuman perjalanan utang pemerintah dari era Presiden Soeharto sampai Jokowi:
Era Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, hingga SBY
Pada tahun 1998, atau masa akhir Soeharto memimpin, utang pemerintah berada di angka Rp 551,4 triliun.
Sementara, Produk Domestik (PDB) di angka Rp 955,6 triliun.
Rasio utang saat itu sebesar 57,7 persen PDB.
Rasio utang tersebut melonjak di masa BJ Habibie.
Rasio utang mencapai 85,4 persen PDB.
Utang di era itu mencapai Rp 938,8 triliun.
Sedangkan PDB sebesar Rp 1.099 triliun.
Setelah itu, rasio utang turun menjadi 77,2 persen di masa kepemimpinan Abdurrahman Wahid.
Di masa presiden yang akrab disapa Gus Dur tersebut utang pemerintah Rp 1.271 triliun dengan PDB mencapai Rp 1.491 triliun.
Rasio utang kembali menurun di era Megawati Soekarnoputri.
Utang di masa Megawati mencapai Rp 1.298 triliun dengan PDB sebesar Rp 2.303 triliun.
Sehingga rasio utang berada di 56,5 persen.
Kemudian, di masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), utang pemerintah melonjak menjadi Rp 2.608 triliun.
Namun, lonjakan utang itu diikuti dengan melesatnya PDB hingga 10.542 triliun.
Rasio utang menjadi lebih rendah, yaitu 24,7 persen ke PDB.
Utang Era Jokowi Rp 6.711 Triliun, 41,38 Persen PDB
Di periode kedua perjalanan Jokowi memimpin, total utang pemerintah hingga akhir September 2021 mencapai Rp 6.711,52 triliun.
Posisi utang ini mengalami kenaikan kenaikan 16,58 persen atau Rp 954,65 triliun jika dibandingkan dengan periode akhir September 2020 yang sebesar Rp 5.756,87 triliun.
Melansir laporan APBNKiTa, Rabu (27/10/2021), rasio utang pemerintah hingga akhir bulan lalu mencapai 41,38 persen terhadap Produk Domestik (PDB).
Namun, rasio ini dinilai masih aman, karena masih di bawah batas yang diperbolehkan dalam Undang-Undang (UU) Keuangan Negara, yaitu maksimal 60 persen dari PDB.
Kenaikan utang pemerintah terutama disebabkan adanya kenaikan utang dari Surat Berharga Negara (SBN) Domestik sebesar Rp 89,08 triliun, sementara SBN dalam valuta asing mengalami kenaikan sebesar Rp 6,2 triliun.
Untuk pinjaman justru terjadi penurunan sebesar Rp 9,19 triliun.
"Untuk tetap menjaga pengelolaan utang yang hati hati, terukur dan fleksibel di masa pandemi, beberapa langkah pengelolaan utang telah dilakukan Pemerintah di antaranya dengan menjaga komposisi utang SBN domestik lebih besar daripada utang dalam bentuk valuta asing," tulis laporan tersebut.
Sri Mulyani: Utang Bengkak untuk Bantu Rakyat
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, memberikan penjelasan soal utang pemerintah yang terus melambung di tengah pandemi.
Menurutnya, utang dilakukan karena pemerintah tak lagi memiliki pilihan, sementara rakyat harus tetap dibantu.
"Apakah itu (utang) harus dilakukan? Menurut saya ya iya lah, untuk bantu rakyat enggak ada pilihan, no choice. Apakah bisa dilakukan lebih baik? Pasti, makanya kita hati-hati," ujar Sri Mulyani, seperti dikutip dari Youtube Gita Wirjawan: "Sri Mulyani: Bijak & Inovatif Kelola Fiskal", Jumat (10/12/2021).
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu memahami konsekuensi dari bertambahnya utang di masa pandemi.
Namun ia memastikan pemerintah akan terus mengelola APBN, sehingga ketika ekonomi pulih, penerimaan negara bisa kembali normal.
Dia melanjutkan, utang juga sebagai salah satu instrumen pemerintah untuk menjalankan fungsi stabilisasi pada APBN.
Utang juga dilakukan agar ekonomi Indonesia tidak terperosok sangat dalam akibat pandemi.
Menurut Sri Mulyani, dalam kondisi ekonomi mengalami tekanan, utang bisa dilakukan.
Hampir seluruh negara mengalami pelebaran defisit APBN dan peningkatan utang. [dhn]