IA adalah panggung yang menampilkan kerja sama tak kasat mata antara sel saraf atau neuron, hormon, dan ingatan purba yang tertanam dalam sistem limbik, sistem dalam otak yang berperan dalam pemrosesan emosi, memori, dan perilaku.
Inilah era neurofashion, sebuah persilangan antara keindahan, sains, dan identitas manusia.
Baca Juga:
Pemerintah Awasi Ketat Barang Impor Ilegal, Perusahaan Nakal Bisa Dicabut Izin
Seiring dunia yang melaju menuju era pasca-digital dan kecerdasan buatan yang meresap ke ruang pribadi kita, pertanyaan paling mendalam dalam pemasaran bukan lagi "apa yang dijual", melainkan "bagaimana otak pembeli bekerja".
Bukan sekadar kain, busana adalah cerminan status, suku, dan simbol ikatan sosial.
Dalam tubuh manusia tersimpan naluri kuno untuk diterima oleh kelompok, dan dalam dunia mode modern, kebutuhan akan belongingness itu dijahit ulang dalam bentuk gaya.
Baca Juga:
Pacu Daya Saing Produk UKM Pangan, Kemendag Luncurkan UKM Pangan Award 2025
Kita memiliki mirror neuron (sel syaraf cermin) yang akan mendorong kita melakukan hal sama saat kita melihat orang lain melakukan sesuatu.
Mirror neuron kita meniru bukan karena kita ingin, tetapi karena kita “terprogram” untuk merasa terhubung. Ketika seorang influencer tersenyum dalam balutan streetwear minimalis, otak kita secara tidak sadar mengenakan pakaian itu dalam bayangan.
Mode bukanlah soal individualitas semata. Ia adalah bahasa sosial yang dituturkan oleh jaringan mirror neuron, didengarkan oleh amygdala –- bagian otak yang berhubungan dengan emosi, perilaku, dan memor i-- yang haus akan pengakuan, serta diarsipkan oleh hippocampus dalam bentuk fashion memory.
Bahkan, aroma toko pakaian atau alunan musik lembut di butik mampu menyelinap ke insula otak kita, membentuk ikatan emosional yang membuat kita kembali, meski tak sedang membutuhkan.
Trinitas Hormon Konsumen
Lalu datanglah para agen rahasia dalam sistem biokimia kita: dopamin, si penggoda kenikmatan; adrenalin, sang penyulut hasrat; dan oksitosin, pelindung kepercayaan.
Ketiganya mengatur simfoni belanja dalam latar bawah sadar. Flash sale, countdown timer, dan iklan dengan narasi emosional bukanlah kebetulan; mereka adalah desain neuropsikologis yang mengeksploitasi mekanisme primal dalam tubuh manusia.
Kita mengenal istilah neuromarketing, gabungan antara ilmu saraf (neuroscience) dan pemasaran (marketing), untuk memahami bagaimana otak manusia merespons iklan, produk, dan strategi pemasaran.
Para pemasar dalam prinsip ini (neuromarketer) menjalankan tugasnya dengan memahami bagaimana otak dan emosi konsumen bekerja untuk menciptakan pemasaran yang efektif.
Para neuromarketer masa depan bukan hanya menjual produk, mereka membentuk lintasan neural.
Setiap klik adalah potongan kecil dari kebiasaan yang dipahat oleh neuroplastisitas, kemampuan otak untuk beradaptasi sesuai pengalaman dan lingkungan.
Ketika kita membeli, kita bukan hanya mengisi lemari, tapi memperkuat sirkuit saraf yang membentuk selera, identitas, dan kebiasaan.
Mode untuk Semua Otak
Namun, dalam semesta otak manusia yang begitu beragam, kita tidak boleh alpa pada neurodivergensi. Apa yang memikat bagi satu konsumen, bisa menjadi pemicu kelelahan sensorik bagi yang lain.
Sebuah dunia fesyen masa depan yang inklusif bukan hanya menampilkan beragam tubuh, tapi juga merangkul beragam cara otak merasakan, menimbang, dan mencinta.
Kita juga tak bisa mengabaikan warisan evolusioner dalam pilihan gaya. Kecenderungan terhadap simetri, warna mencolok, atau pakaian yang menonjolkan fitur tubuh bukanlah tren yang lahir kemarin sore. Ia berasal dari ribuan tahun adaptasi: sinyal vitalitas, dominasi, dan reproduksi yang dikodekan dalam lobus visual kita jauh sebelum dunia mengenal istilah haute couture.
Di tengah kompleksitas ragam otak manusia, para desainer dan neuromarketer masa depan dihadapkan pada tantangan sekaligus peluang besar: menciptakan pengalaman fesyen yang neuroadaptive.
Ini berarti tidak hanya menyesuaikan ukuran atau estetika, melainkan mengintegrasikan pemahaman tentang variabilitas pemrosesan sensorik dan kognitif ke dalam setiap elemen desain.
Contohnya, bagi individu dengan sensitivitas sensorik tinggi, seperti banyak penyandang autisme atau ADHD, busana yang terlalu bertekstur, beraroma kuat, atau menyala terang dapat menjadi sumber distres, bukan ekspresi diri.
Maka, muncul kebutuhan untuk mengembangkan smart textiles yang tidak hanya responsif terhadap suhu tubuh atau kelembapan, tetapi juga terhadap gelombang otak atau sinyal stres autonomik.
Teknologi seperti brain-computer interfaces (BCI) atau wearable EEG dapat diterapkan untuk menciptakan pakaian yang beradaptasi secara real-time dengan kondisi emosional pemakainya: menenangkan saat sistem saraf terangsang berlebihan, atau memicu semangat saat mendeteksi kelelahan mental.
Di sisi lain, fashion juga bisa menjadi alat terapi neurosensorik, misalnya, melalui compression wearables yang memberikan tekanan lembut dan menstimulasi sistem proprioseptif, membantu individu dengan kecemasan atau gangguan pemrosesan sensorik untuk merasa lebih terkendali.
Dengan kata lain, masa depan fashion yang inklusif tidak hanya akan mencerminkan keragaman bentuk tubuh, tetapi juga menghormati arsitektur otak yang unik dari setiap individu.
Masa Depan Mode Ada di Otak Anda
Bayangkan tahun 2045: Busana yang berubah warna sesuai suasana hati Anda, toko yang merespons denyut jantung dan pupil untuk menyajikan koleksi terbaik, bahkan parfum yang dirancang berdasarkan pemindaian limbik pribadi.
Dalam dunia seperti itu, pemasaran bukan lagi persuasi, melainkan ko-evolusi antara pikiran konsumen dan mesin kreatif.
Namun, dalam kilau kemajuan itu, satu hal tetap abadi: Mode akan selalu menjadi kisah tentang manusia.
Tentang bagaimana kita merasa, bermimpi, mengenang, dan berani menjadi diri sendiri, dalam warna, bentuk, dan bahan yang dipilih otak kita, jauh sebelum kita menyadarinya.
Di masa depan, iklan terbaik bukanlah yang paling keras atau paling mahal, melainkan yang paling selaras dengan ritme batin kita. Karena di akhir hari, otaklah yang memilih, mencinta, dan mengingat.
*) Dokter Dito Anurogo MSc PhD, alumnus PhD dari IPCTRM College of Medicine Taipei Medical University Taiwan, dosen Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Makassar Indonesia, peneliti Institut Molekul Indonesia
Artikel ini sudah tayang di antaranews.com: www.antaranews.com/berita/4848481/menjelajahi-otak-konsumen-di-dunia-mode-masa-depan