WahanaNews.co, Jakarta – Merujuk TomTom Traffic Index 2023, Jakarta kini menempati urutan ke-30 sebagai kota termacet di dunia. Tercatat, sepanjang tahun kemarin, 225 jam waktu yang dihabiskan untuk mengemudi, 117 jam di antaranya karena kemacetan yang terjadi di jam-jam sibuk.
Kemacetan masih menjadi momok bagi warga Jakarta dan sekitarnya, terutama di jam-jam sibuk. Berapa waktu yang terbuang karena kemacetan ini?
Baca Juga:
Bukan Awan Biasa, BMKG Klarifikasi Fenomena Langit Jakarta yang Memukau
Waktu yang terbuang sia-sia itu disebut sebetulnya bisa digunakan untuk membaca 45 buku dalam satu tahun.
Melansir CNN Indonesia, Senin (15/1/2024), lembaga tersebut mengungkap, waktu termacet di jalanan Jakarta adalah setiap Jumat dengan pukul 18.00 WIB sampai 19.00 WIB. Dari catatan TomTom, pada waktu tersebut, mengemudi dengan jarak rata-rata 10 km menghabiskan waktu 33 menit 40 detik.
Lalu, berapa waktu tambahan yang dihabiskan dalam mobil pada jam-jam sibuk di Jakarta?
Baca Juga:
Januari 2025 RDF Rorotan Segera Beroperasi, 2500 Ton/Hari Sampah Jakarta Bakal Diolah jadi Sumber PAD
Pada jam-jam sibuk pagi hari, tercatat warga Jakarta harus menambah waktu 12 menit lebih lama di jalanan hanya untuk perjalanan 10 km. Waktu tempuh yang ideal untuk bepergian dengan jarak 10 km adalah 14 menit, tapi selama jam sibuk pagi hari di Jakarta waktu tempuhnya menjadi 26 menit.
Jam sibuk saat sore hari malah lebih parah lagi. Untuk bepergian dengan jarak 10 km saja harus memakan waktu hingga 32 menit, artinya ada 18 menit waktu tambahan hanya untuk menempuh jarak 10 km.
Selain membuang-buang waktu di jalan, kemacetan Jakarta juga menyebabkan polusi udara semakin banyak. Hal ini terlihat dari jumlah emisi karbon dioksida (CO2) yang dihasilkan selama kemacetan setahun sebanyak 270 kg dan butuh 97 pohon yang ditanam untuk menyerap emisi karbon tersebut.
Apa yang bisa dilakukan untuk memperbaiki masalah ini?
Pertama, menerapkan kebijakan bekerja dari rumah atau work from home (WFH) setiap hari Jumat. Menurut TomTom, kebijakan WFH setiap Jumat bisa mengurangi waktu perjalanan selama 44 jam dan emisi karbon 189 kg per tahun.
Kedua, menerapkan kebijakan WFH setiap hari Jumat, Rabu, dan Selasa. TomTom mencatat kebijakan ini dapat mengurangi waktu perjalanan hingga 136 jam dan emisi karbon sampai 573 kg per tahun.
Sebelumnya, berdasarkan TomTom Traffic Index edisi ke-13, Jakarta menduduki urutan ke-30 sebagai kota termacet di dunia pada 2023. Peringkat pertama dalam daftar kota termacet di dunia ditempati ibu kota Inggris, London.
Posisi Jakarta sebenarnya cukup membaik jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, di mana kota yang punya ikon Monas ini berada di urutan ke-29 sebagai kota termacet di dunia.
Kendati demikian, menurut data TomTom Traffic Index, justru kemacetan di Jakarta kian bertambah parah apabila dibandingkan dengan tahun 2022. Pada 2022, untuk menempuh jarak 10 kilometer di Jakarta hanya membutuhkan waktu 22 menit 40 detik.
Sementara pada 2023, untuk menempuh jarak 10 kilometer, pengendara di Jakarta membutuhkan waktu rata-rata 23 menit 20 detik. Berarti, ada selisih waktu 40 detik lebih lambat untuk perjalanan 10 kilometer di Jakarta, dari tahun 2022 ke 2023.
Kemudian, berdasarkan data TomTom Traffic Index tahun 2023, dalam satu tahun, warga Jakarta harus menghabiskan 117 jam atau setara 4 hari 21 jam untuk berkendara dalam kemacetan.
Untuk waktu paling macet di Jakarta selama 2023 terjadi saat 9 Maret 2023. Ketika itu, butuh 30 menit 10 detik untuk dapat menempuh perjalanan 10 kilometer di Jakarta.
TomTomtelah meneliti 387 kota dari 55 negara dan 6 benua. Survei tersebut mengevaluasi kota-kota di seluruh dunia dengan perhitungan waktu perjalanan rata-rata, biaya bahan bakar, dan emisi CO2.
"Biaya dan konsumsi bahan bakar meningkat akibat waktu perjalanan yang lebih lama, berdampak terhadap anggaran yang mesti dikeluarkan pengendara setiap hari untuk berangkat kerja," bunyi keterangan resmi TomTom.
"Rata-rata anggaran bahan bakar naik 15 persen atau lebih antara tahun 2021 dan 2023 pada lebih dari 60 persen di 351 kota di dunia yang disurvei TomTom. Terjadinya lonjakan konsumsi bahan bakal secara alami ini berdampak langsung pada rata-rata emisi CO2 per kendaraan," lanjut pernyataan TomTom.
[Redaktur: Alpredo Gultom]