WahanaNews.co, Jakarta - Indonesia menghadapi risiko gangguan pada ketahanan pangan, demikian yang diungkapkan oleh Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita.
Dalam pertemuan dengan Komisi V DPR RI baru-baru ini, Dwikorita menjelaskan bahwa kerentanan ketahanan pangan disebabkan oleh kekurangan air, yang dipicu oleh kenaikan suhu permukaan Bumi.
Baca Juga:
BMKG Hang Nadim: Kota Batam Berpotensi Hujan Sepanjang Hari Ini
Tidak dapat dipungkiri bahwa suhu permukaan Bumi terus meningkat, terutama sepanjang tahun 2023 yang terus memecahkan rekor. Bulan Juli 2023, misalnya, tercatat sebagai bulan Juli paling panas jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Kenaikan suhu global telah terjadi sejak tahun 1850-an, dan faktor utamanya adalah pertumbuhan industri yang terus berkembang. Tren ini terus meningkat hingga tahun 2023, seperti yang diungkapkan oleh Dwikorita, yang mencatat bahwa 8 tahun terakhir menjadi rekor periode terpanas dalam sejarah.
"Terjadi kenaikan suhu hingga tahun 2023 sebesar kurang lebih sebesar 1,2 derajat Celcius dibandingkan di masa sebelum revolusi industri, dan 8 tahun terakhir ini tercatat merupakan rekor terpanas sepanjang sejarah," kata Dwikorita, mengutip CNBC Indonesia, Minggu (19/11/2023).
Baca Juga:
Hingga 25 November: Prediksi BMKG Daerah Ini Berpotensi Cuaca Ekstrem
Namun di Indonesia sendiri, dia menjelaskan, belum mengalami kenaikan suhu yang terlalu besar. Ini karena luas laut jauh lebih besar dari luas daratannya, sehingga berperan sebagai pendingin," ungkap dia.
Suhu Bumi yang meningkat itu menyebabkan global water hotspot atau kekeringan. Kejadian ini akan berlangsung hingga beberapa waktu ke depan.
"Akibat kekurangan air ini, diproyeksikan oleh organisasi meteorologi dunia, termasuk di Indonesia warnanya orange, terjadi kondisi kerentanan cukup tinggi terhadap ketahanan pangan," jelasnya.
Sekitar 2050, dia menjelaskan indikator ketahanan pangan di sebagian besar dunia akan berwarna orange bahkan hitam. Indonesia akan masuk dalam kategori menengah atau orange.
"Dan kita akan kesulitan impor karena negara-negara penghasil pangan pun malah mengalami kekeringan lebih parah," ujarnya.
Sementara itu dalam kesempatan yang sama, Dwikorita juga memaparkan hasil pantauan BMKG. Yakni penyebab perubahan iklim ditandai dengan lonjakan suhu Bumi terjadi karena konsentrasi Co2 di GAW Kototabang melonjak dari sekitar 370 ppm menjadi 415 ppm.
Padahal wilayah tersebut berada di tengah hutan dan tanpa polusi. Dengan catatan tersebut diperkirakan Co2 di wilayah perkotaan juga ikut melonjak dan mengakibatkan adanya selubung gas rumah kaca di atmosfer.
Selubung itu menyebabkan radiasi Matahari terhambat kembali ke angkasa. Pada akhirnya akan ada dampak di Bumi termasuk Indonesia, misalnya es puncak Jayawijaya yang diperkirakan punah tahun 2025 dan cuaca ekstrem terus sering terjadi.
"Untuk itu BMKG melakukan pelatihan adaptasi perubahan iklim, meningkatkan literasi iklim untuk masyarakat, serta memperluas penerapan transformasi energi dari energi fosil ke nonfosil," pungkas Dwikorita.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]