WAHANANEWS.CO - Robot humanoid seharga motor matic kini bukan lagi imajinasi, setelah perusahaan teknologi asal China mulai menjual robot berbentuk manusia dengan banderol sekitar Rp23 juta.
Perusahaan Songyan Power resmi menandatangani perjanjian pemasokan 1.000 unit robot humanoid bernama Bumi kepada Huichen Technology dengan harga jual 9.998 yuan atau sekitar Rp23,48 juta per unit.
Baca Juga:
Dari Stres hingga Gadget, Faktor Penyebab Insomnia yang Perlu Diwaspadai
Dengan harga tersebut, robot Bumi langsung menyandang predikat sebagai robot humanoid termurah di dunia dan bahkan lebih murah dibanding iPhone 17 Pro Max varian 2TB yang dibanderol Rp43,9 juta.
Robot Bumi memiliki ukuran kecil dan bobot ringan serta mampu berjalan, berlari, menari, dan merespons perintah suara.
Mengutip Gizmochina, Senin (15/12/2025), robot ini juga dapat diprogram menggunakan sistem drag-and-drop yang sederhana sehingga mudah digunakan oleh pemula.
Baca Juga:
Waspadai Gadget Sebelum Tidur: Ancaman Sunyi untuk Remaja dan Orang Dewasa
Robot tersebut dirancang untuk berinteraksi dengan anak-anak serta dimanfaatkan untuk kebutuhan pendidikan dan pengenalan awal dunia robotika.
"Dengan harga 9.998 yuan (sekitar Rp23,48 juta), Bumi saat ini merupakan robot humanoid termurah di dunia, hal ini membuatnya terjangkau tidak hanya bagi perusahaan dan pabrik, tetapi juga bagi sekolah dan keluarga," tulis Gizmochina, Senin (15/12/2025).
Penjualan robot Bumi dijadwalkan mulai berlangsung pada Januari 2026 dengan China menjadi salah satu negara pertama yang mendorong penggunaan robot humanoid dalam produk konsumen sehari-hari.
Harga robot Bumi tergolong sangat murah jika dibandingkan dengan robot humanoid di Amerika Serikat seperti Tesla Optimus yang diprediksi dibanderol US$20.000 hingga US$30.000 atau setara Rp334 juta hingga Rp500 juta.
Sementara itu, robot humanoid Digit buatan Agility Robotics yang dirancang untuk kebutuhan gudang dan pabrik dijual dengan harga sekitar US$250.000 atau setara Rp4,18 miliar.
Perusahaan teknologi Amerika Serikat cenderung memprioritaskan produktivitas industri dan faktor keamanan dibanding adopsi konsumen massal sehingga pertumbuhannya lebih lambat namun memiliki model pendapatan yang jelas.
Sebaliknya, pendekatan China menekankan kecepatan pengembangan, skala produksi besar, dan biaya rendah meski dengan margin keuntungan yang tipis.
Perbedaan strategi tersebut mencerminkan persaingan yang lebih luas antara China dan Amerika Serikat dalam bidang kecerdasan buatan dan teknologi.
Amerika Serikat fokus pada pengembangan AI canggih, otonomi sistem, serta nilai perusahaan berbasis perangkat lunak.
Di sisi lain, China menggenjot produksi perangkat keras dan membangun dominasi ekosistem teknologi dengan harga yang lebih terjangkau.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]