WahanaNews.co, Jakarta - Gurun Sahara yang biasanya gersang dan tandus kini menjadi lebih hijau, seperti pada citra satelit yang baru-baru ini didapat oleh para ilmuwan.
Diberitakan CNN pada Jumat (13/9), citra satelit NASA menunjukkan wilayah hijau yang biasanya terpusat di kawasan ekuator di tengah Afrika kini mulai meluas ke utara atau sudah masuk wilayah Gurun Sahara.
Baca Juga:
Enam Gunung Api Berstatus Siaga dan Awas, Badan Geologi Peringatkan Bahaya Erupsi
Perbandingan foto antara September 2023 dengan September 2024 menunjukkan sebagian wilayah Gurun Sahara yang dikenal paling kering di muka Bumi, mulai menghijau di bagian selatan dekat ekuator.
Hal ini terjadi setelah kawasan tersebut diterjang badai yang semestinya tidak pernah menyentuh daerah itu. Badai itu pun menyebabkan banjir parah yang merusak kawasan. Kini, gurun itu jadi dua hingga enam kali lebih basah dari sebelumnya.
Pusat Prediksi Iklim NOAA mencatat Zona Konvergensi Intertropis bergeser lebih jauh menuju utara sejak pertengahan Juli, termasuk ke Sahara.
Baca Juga:
Erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki Tewaskan 8 Orang, Warga Diminta Waspada
Para ilmuwan menilai pemanasan global akibat penggunaan bahan bakar fosil menjadi penyebab dua fenomena alam ganjil tersebut terjadi.
Sementara itu, Peneliti Iklim di Universitas Leipzig Karsten Haustein mengatakan ada dua penyebab utama pergeseran curah hujan ke utara.
Pertama, transisi dari El Nino ke La Nina yang akhirnya memengaruhi seberapa jauh zona tersebut bergerak ke utara. Kedua, dunia yang semakin panas dianggap sebagai biang kerok pergeseran hujan.
"Zona Konvergensi Intertropis yang menjadi alasan penghijauan (Afrika), bergerak lebih jauh ke utara seiring dengan semakin hangatnya dunia," kata Haustein.
Masalah tidak hanya sebatas Gurun Sahara yang mendadak hijau. Ini juga mengganggu musim badai Atlantik yang menimbulkan konsekuensi besar selama beberapa bulan terakhir di sejumlah negara Afrika.
Negara-negara yang seharusnya mendapatkan lebih banyak curah hujan justru tak mendapatkannya. Curah hujan menjadi lebih sedikit karena badai bergeser ke utara.
"Nigeria dan Kamerun biasanya diguyur hujan setidaknya 20 inci hingga 30 inci sejak Juli hingga September. Namun, hanya mengalami 50 persen-80 persen dari curah hujan biasanya sejak pertengahan Juli," tulis laporan dari data Climate Prediction Centre (CPC).
"(Sedangkan) jauh ke utara yang merupakan wilayah biasanya lebih kering, termasuk sebagian Nigeria, Chad, Sudan, Libya, dan Mesir selatan menerima lebih dari 400 persen curah hujan dari biasanya sejak pertengahan Juli," sambungnya.
Curah hujan berlebih bahkan membuat banjir dahsyat di Chad. Hampir 1,5 juta orang terdampak dan sedikitnya 340 warga tewas.
Banjir bandang juga menewaskan lebih dari 220 orang dan menyebabkan ratusan ribu orang mengungsi di Nigeria. Ini terjadi terutama di utara negara tersebut yang umumnya kering.
[Redaktur: Alpredo Gultom]