WahanaNews.co, Jakarta - Sejumlah catatan sejarah menyebutkan nama Yesus Kristus dan Isa Almasih sebagai sosok yang sama, meskipun pengakuan mengenainya belum begitu lengkap di luar ayat-ayat kitab suci.
Dua pilihan nama ini kembali menjadi sorotan setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) secara resmi menandatangani Keputusan Presiden nomor 8 tahun 2024 tentang Hari-hari Libur pada Senin (29/1/2024).
Baca Juga:
Peringatan Kenaikan Isa Al Masih, Polres Subulussalam Laksanakan Pengamanan Gereja
Dalam keputusan tersebut, salah satu perubahan yang terjadi adalah penyesuaian nomenklatur Isa Almasih menjadi Yesus Kristus.
Dampaknya terlihat pada empat perubahan penyebutan dalam kalender nasional, yaitu Hari Kelahiran Yesus Kristus, Wafat Yesus Kristus, Kebangkitan Yesus Kristus atau Paskah, dan Kenaikan Yesus Kristus.
Wakil Menteri Agama, Saiful Rahmat Dasuki, menyatakan bahwa usulan tersebut merupakan aspirasi dari umat Kristen dan Katolik.
Baca Juga:
Keppres Perubahan Nomenklatur Isa Almasih Resmi Jadi Yesus Kristus Diteken Jokowi
"Indonesia terlahir dari keberagaman. Indonesia terlahir dari berbagai macam suku bangsa dan agama. Ini adalah karunia Tuhan yang terbesar, ini adalah nikmat yang terbesar karena dari perbedaan itulah kita sadar bahwa kita memang telahir berbeda dan tercipta untuk bersama-sama," ujar dia, Desember lalu.
Bagaimana posisinya dalam sejarah masa lampau alias arkeologi?
Yesus Kristus di agama Kristen merupakan pokok utama keimanan agama; Tuhan, Anak Allah, hingga Juru Selamat.
Walau demikian, masih banyak pro dan kontra mengenai sosok Yesus Kristus. Sebuah survei 2015 yang dilakukan oleh Gereja Inggris, misalnya, menemukan 22 persen orang dewasa di Inggris tidak mempercayai bahwa Yesus adalah sosok nyata.
Melansir CNN Indonesia, para arkeolog pun bertahun-tahun menggali bukti keberadaan Yesus. Masalahnya, tidak ada bukti fisik atau arkeologis yang pasti tentang keberadaan Yesus.
"Tidak ada yang konklusif, dan saya juga tidak berharap akan ada," aku Lawrence Mykytiuk, profesor ilmu perpustakaan di Purdue University dan penulis artikel Biblical Archaeology, melansir The History.
Bart D. Ehrman, profesor studi agama dari Universitas North Carolina, mengungkap sampai saat ini tidak ada catatan arkeologi untuk hampir semua orang yang hidup pada masa Yesus berada.
Namun, kurangnya bukti tidak berarti bahwa sosok Yesus tidak pernah ada.
"Kurangnya bukti tidak berarti seseorang pada saat itu tidak ada. Itu berarti bahwa dia, seperti 99,99 persen orang lain di dunia pada saat itu, tidak memberikan dampak pada catatan arkeologi," jelas Ehrman.
Catatan paling rinci tentang kehidupan dan kematian Yesus berasal dari empat Injil dan tulisan-tulisan Perjanjian Baru lainnya.
"Semua buku-buku ini ditulis oleh orang Kristen dan jelas-jelas memiliki bias dalam apa yang mereka laporkan, dan harus dievaluasi dengan sangat kritis untuk mendapatkan informasi yang bisa diandalkan secara historis," tutur Ehrman.
"Namun, klaim utama mereka tentang Yesus sebagai tokoh sejarah--seorang Yahudi, dengan pengikut, yang dieksekusi atas perintah gubernur Romawi di Yudea, Pontius Pilatus, pada masa pemerintahan Kaisar Tiberius--didukung oleh sumber-sumber yang muncul belakangan dengan bias yang sama sekali berbeda."
Dalam beberapa dekade setelah masa hidupnya, Yesus disebut-sebut oleh sejarawan Yahudi dan Romawi dalam ayat-ayat yang menguatkan bagian-bagian Perjanjian Baru yang menggambarkan kehidupan dan kematian Yesus.
Sejarawan Flavius Yosefus menulis salah satu catatan non-Alkitab yang paling awal tentang Yesus. Ehrman mengatakan Flavius merupakan sejarawan Yahudi abad pertama.
Ia mengungkap Yosefus sejauh ini merupakan sumber informasi terbaik tentang Palestina abad pertama dan dua kali menyebut Yesus dalam Jewish Antiquities, buku besar sejarah bangsa Yahudi sebanyak 20 jilid yang ditulis sekitar tahun 93 Masehi.
Tentang Yosefus
Yosefus diperkirakan lahir beberapa tahun setelah penyaliban Yesus sekitar tahun 37 M.
Ia adalah seorang bangsawan dan pemimpin militer, serta memiliki koneksi yang baik di Palestina yang menjabat sebagai komandan di Galilea pada masa Pemberontakan Yahudi pertama melawan Roma antara tahun 66 dan 70 M.
Meski Yosefus bukan pengikut Yesus, Mykytiuk mengatakan, "dia ada di sana saat gereja mulai berdiri, sehingga dia mengenal orang-orang yang pernah melihat dan mendengar tentang Yesus."
Dalam satu bagian dari Jewish Antiquities menceritakan mengenai eksekusi Yakobus, saudara Yesus.
Menurut Mykytiuk, beberapa ahli meragukan keaslian catatan pendek tersebut. Namun, lebih banyak perdebatan seputar catatan Yosefus yang lebih panjang tentang Yesus yang dikenal sebagai 'Testimonium Flavianum'.
Catatan tersebut menggambarkan seorang pria "yang melakukan perbuatan yang mengejutkan" dan dihukum disalib oleh Pilatus.
Mykytiuk sepakat dengan sebagian besar ahli bahwa para penulis Kristen memodifikasi beberapa bagian dari ayat tersebut, tetapi tidak memasukkannya secara keseluruhan ke dalam teks.
Catatan lain tentang Yesus muncul dalam Annals of Imperial Rome, sejarah abad pertama Kekaisaran Romawi yang ditulis sekitar tahun 116 Masehi oleh senator dan sejarawan Romawi Tacitus.
Dalam catatannya tentang pembakaran kota Roma pada tahun 64 M, Tacitus mengungkap Kaisar Nero secara keliru menyalahkan "orang-orang yang biasa disebut orang Kristen, yang dibenci karena kebesaran mereka."
"Christus, nama pendiri tersebut, dihukum mati oleh Pontius Pilatus, prokurator Yudea pada masa pemerintahan Tiberius."
Ehrman mengatakan, sebagai seorang sejarawan Romawi, Tacitus tidak memiliki bias Kristen dalam diskusinya mengenai penganiayaan terhadap orang-orang Kristen oleh Nero.
"Hampir semua yang dikatakannya sama persis - dari sudut pandang yang sama sekali berbeda, dari seorang penulis Romawi yang meremehkan orang Kristen dan takhayul mereka - dengan apa yang dikatakan oleh Perjanjian Baru itu sendiri," ujar dia.
Bahwa, katanya, "Yesus dieksekusi oleh gubernur Yudea, Pontius Pilatus, atas kejahatan terhadap negara, dan sebuah gerakan religius dari para pengikutnya bermunculan setelah kematiannya."
Myktiuk mengatakan Tacitus, jika menganggap informasi itu tidak sepenuhnya dapat diandalkan, biasanya menulis beberapa indikasi tentang hal itu untuk para pembacanya. Namun, dia menjamin nilai historis dari bagian tersebut.
"Tidak ada indikasi potensi kesalahan seperti itu dalam bagian yang menyebutkan Christus," ujarnya.
Tak lama sebelum Tacitus menulis catatannya tentang Yesus, gubernur Romawi Pliny the Younger menulis kepada Kaisar Trajan bahwa orang-orang Kristen mula-mula "menyanyikan lagu-lagu pujian kepada Kristus seperti kepada dewa."
Beberapa ahli juga percaya bahwa sejarawan Romawi, Suetonius, merujuk kepada Yesus dengan mencatat bahwa Kaisar Claudius telah mengusir orang-orang Yahudi dari Roma yang "terus menerus membuat kekacauan atas hasutan Chrestus."
Ehrman mengatakan bahwa kumpulan cuplikan dari sumber-sumber non-Kristen ini mungkin tidak memberikan banyak informasi tentang kehidupan Yesus.
"Tetapi berguna untuk menyadari bahwa Yesus dikenal oleh para sejarawan yang memiliki alasan untuk mencari tahu tentang hal tersebut. Tidak ada yang mengira bahwa dia hanya rekaan."
Prasasti dari Arab
Berabad-abad sebelum kemunculan Islam, beberapa suku di Arab kuno diduga menganut agama Kristen.
Informasi tentang kedatangan agama Kristen di jazirah ini diketahui melalui sumber-sumber literatur yang dihasilkan oleh individu dari luar wilayah tersebut, seperti ahli Alkitab dan penerjemah terkenal St. Jerome.
Menurut tulisan Ahmad Al-Jallad, seorang profesor bahasa Arab di Ohio State University, yang diterbitkan dalam Biblical Archaeology Review, ratusan prasasti kuno telah diungkapkan oleh para pengembara yang menjelajahi wilayah ini hampir dua ribu tahun lalu.
Salah satu prasasti tersebut mendokumentasikan masuknya agama Kristen di wilayah Arab. Diperkirakan berasal dari abad keempat, prasasti ini menyebut nama Yesus, dengan nama yang sama seperti yang tercantum dalam Al-Quran; Isa.
Al-Jallad menyoroti keberadaan prasasti Yesus dari Wadi al-Khudari, yang merupakan peninggalan peringatan untuk mengenang seseorang yang telah meninggal.
Prasasti ini terdiri dari tiga bagian, yang pertama memberikan informasi tentang nama dan silsilah pembuat prasasti (Wahb-El).
Kedua, menambahkan peringatan tentang pamannya yang telah meninggal, dan akhirnya diakhiri dengan sebuah doa religius yang unik; Isa, yang sesuai dengan nama yang diberikan kepada Yesus dalam Al-Quran: "Wahai Isa, tolonglah dia terhadap orang-orang yang mendustakanmu."
Tidak diragukan lagi, kata Al-Jallad, penulisnya adalah seorang Kristen.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]