WahanaNews.co | Beberapa fenomena cuaca disebut para pakar menjadi penyebab kondisi cuaca di Indonesia menjadi tidak menentu meski telah masuk musim kemarau.
Simak penjelasannya berikut.
Baca Juga:
BMKG Hang Nadim: Kota Batam Berpotensi Hujan Sepanjang Hari Ini
Menurut Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), musim kemarau kali ini masuk ke dalam kategori musim kemarau basah yang dilatarbelakangi faktor angin dan siklon tropis.
Situasi yang sama pernah terjadi di Tanah Air pada 2013.
Karena hal tersebut, sejumlah daerah di Indonesia yang sudah memasuki musim kemarau tetap basah akibat hujan.
Baca Juga:
Hingga 25 November: Prediksi BMKG Daerah Ini Berpotensi Cuaca Ekstrem
Misalnya, dalam dua hari terakhir, cuaca ekstrem seperti ini melanda berbagai daerah, seperti Jabodetabek, Bali, dan Jawa Timur.
Di tempat-tempat tersebut hujan terpantau lebat umumnya dimulai siang hingga sore.
"Hujan terpantau di Jabodetabek, yg merupakan aliran hujan dari Sumatra. Pengaruh vorteks Samudra Hindia dapat menciptakan kemarau basah," kicau Peneliti Klimatologi di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Erma Yulihastin, di Twitter.
Sementara itu Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengungkap gelombang atmosfer di khatulistiwa dan kondisi lokal menjadi pemicu hujan di akhir pekan pada musim kemarau ini.
Selain itu, El Nino, fenomena pemanasan suhu muka air laut di Samudera Pasifik juga memicu penurunan curah hujan global, dan mulai aktif bulan lalu.
Lebih jauh, BMKG mengurai beberapa faktor jadi pemicu dominasi hujan periode ini.
Pertama, faktor global tak signifikan. Itu ditandai dengan Indeks Osilasi Selatan (SOI) nilainya +3.6, Indeks NINO 3.4 baru +0.94, dan Dipole Mode Index (DMI), yang merepresentasikan pemanasan suhu laut Samudera Hindia (IOD), bernilai -0.21.
Kedua, faktor regional. Gelombang atmosfer Madden Julian Oscillation (MJO) memang kurang berkontribusi terhadap proses pembentukan awan hujan di wilayah Indonesia.
"Namun, gangguan fenomena MJO secara spasial terpantau aktif di wilayah Samudera Hindia barat Aceh hingga Lampung, seluruh wilayah Indonesia kecuali Kalimantan Utara bagian utara, Papua Barat bagian utara, dan Papua," kata BMKG.
Hal itu dinilai berpeluang menumbuhkan awan hujan di wilayah-wilayah yang 'terganggu' itu.
Ada pula gelombang ekuator yang aktif terjadi di wilayah Indonesia yang memicu pertumbuhan awan hujan di daerah-daerah yang dilaluinya, yakni:
a. Gelombang Rossby Ekuator yang merambar ke arah barat melanda Samudera Hindia selatan Banten dan Jawa Barat, Papua, Papua Pegunungan, dan Papua Selatan bagian timur.
b. Gelombang Kelvin yang mengalir ke arah timur terpantau melewati Aceh bagian selatan, Sumatera Utara, Riau, Kep. Riau, Kep. Bangka Belitung, Selat Malaka, Selat Karimata, Laut Natuna, Laut Natuna Utara, Kalimantan Barat bagian barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan.
c. Gelombang dengan Low Frequency yang cenderung persisten mencakup wilayah Laut Sulu dan Filipina bagian selatan.
BMKG juga menyebut faktor wilayah pertemuan beberapa gelombang bisa memicu hujan.
"Kombinasi antara MJO, gelombang tipe Low Frequency, gelombang Kelvin, dan gelombang Rossby Ekuator pada wilayah dan periode yang sama," kata BMKG, "dapat meningkatkan aktivitas konvektif serta pembentukan pola sirkulasi siklonik di wilayah tersebut."
Wilayah-wilayah itu antara lain Aceh bagian selatan, Sumatera Utara, Riau, Kep. Riau, Kep. Bangka Belitung, Selat Malaka, Selat Karimata, Laut Natuna, Laut Natuna Utara, Kalimantan Barat bagian barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan.
Pemicu hujan lain dari regional adalah suhu muka air laut. Anomali suhunya terpantau mencapai +0.5º Celsius hingga +3º C.
BMKG menyebut ini bisa meningkatkan potensi penguapan (penambahan massa uap air) di Selat Malaka, Selat Sunda, Laut Jawa, Selat Madura, Laut Bali, Selat Makassar, Laut Sulawesi, Teluk Bone, Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Banda, Laut Flores, Laut Arafuru bag timur, Laut Seram, Samudera Hindia Selatan NTB -NTT, Laut Sawu, Laut Timor, Laut Halmahera, Teluk Cendrawasih, dan Samudera Pasifik utara Papua.
Tak ketinggalan, ada sirkulasi siklonik yang terpantau di Papua Barat, dan di Samudra Pasifik utara Papua Barat.
Ini membentuk daerah pertemuan/perlambatan kecepatan angin (konvergensi) memanjang dari Laut Sulawesi hingga Samudera Pasifik Utara Papua Barat, dan dari Pesisir Selatan Papua hingga Papua Barat.
"Kondisi tersebut mampu meningkatkan potensi pertumbuhan awan hujan di sekitar wilayah sirkulasi siklonik dan di sepanjang daerah konvergensi tersebut."
Ada pula intrusi udara kering (dry intrusion) dari Belahan Bumi Selatan (BBS) melintasi wilayah Samudra Hindia selatan Jawa hingga Australia bagian utara.
Fenomena ini, kata BMKG, "mampu mengangkat massa udara di depan intrusi menjadi lebih hangat dan lembab yaitu di wilayah Jawa, Bali, NTB, dan Papua bagian Selatan."
Ketiga, faktor lokal berupa labilitas yang kuat.
"Labilitas Lokal Kuat yang mendukung proses konvektif pada skala lokal terdapat di wilayah Aceh, Riau, Kep. Riau, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, Kep. Bangka Belitung, Lampung, Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB."
"Kalimantan Barat, Kalimantan Utara, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Gorontalo, Maluku Utara, Maluku, dan Papua," lanjut BMKG.
Dengan faktor-faktor tersebut, BMKG memperingatkan potensi hujan lebat pada Minggu (09/07/23) di beberapa wilayah, mulai Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Kep. Riau, Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan, Kep. Bangka Belitung, Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur;
Selain itu, ada Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Maluku Utara, Maluku, Papua Barat dan Papua.[sdy]