WAHANANEWS.CO, Jakarta - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengungkapkan bahwa isu megathrust diangkat untuk mendorong semua pihak, terutama pemerintah daerah, agar segera mengambil langkah antisipasi terhadap potensi gempa dan tsunami dari zona tersebut.
"Isu megathrust sebenarnya bukan hal baru. Ini sudah lama dibicarakan. Namun, BMKG dan beberapa pakar kembali mengingatkan agar kita tidak hanya berbicara, tetapi juga segera melakukan mitigasi," ujar Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, di kantornya, Jakarta, belum lama ini.
Baca Juga:
Diterjang 24 Gempa, Inilah Daerah Rawan di Kalimantan Bulan Ini
"Tujuan utama kami adalah untuk mempromosikan mitigasi, edukasi, persiapan, dan kesiapsiagaan," tambahnya.
Sebelumnya, Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono, memperingatkan bahwa gempa dari dua zona megathrust, yakni Megathrust Selat Sunda dan Megathrust Mentawai-Siberut, hanya tinggal menunggu waktu.
Hal ini disebabkan oleh adanya seismic gap di dua zona tersebut yang sudah lebih dari dua abad tidak mengalami gempa besar. Biasanya, gempa besar memiliki siklus yang bisa berlangsung selama ratusan tahun.
Baca Juga:
Bertemu Kepala BMKG, Wamen Diana Bahas Mitigasi Bencana Hidrometeorologi untuk Kelancaran Arus Nataru
Dwikorita menjelaskan bahwa BMKG telah mengambil berbagai langkah antisipasi terhadap megathrust. Pertama, mereka telah memasang sensor-sensor sistem peringatan dini tsunami InaTEWS yang diarahkan ke zona-zona megathrust.
"InaTEWS dipasang khusus untuk menghadapi dan memitigasi potensi megathrust," jelasnya.
Kedua, BMKG telah melakukan edukasi kepada masyarakat baik di tingkat lokal maupun internasional.
Salah satu upaya tersebut melibatkan pendampingan pemerintah daerah dalam menyiapkan infrastruktur mitigasi, seperti jalur evakuasi, sistem peringatan dini, dan shelter tsunami.
Selain itu, BMKG bekerja sama dengan Indian Ocean Tsunami Information Center, yang berkantor di kompleks BMKG, untuk mengedukasi 25 negara di Samudra Hindia dalam menghadapi gempa dan tsunami.
"Kami mengedukasi publik tentang bagaimana mempersiapkan masyarakat dan pemerintah daerah sebelum terjadi gempa besar yang bisa menyebabkan tsunami," paparnya.
Ketiga, BMKG secara berkala memeriksa sistem peringatan dini yang telah diserahkan kepada pemerintah daerah.
"Sirene peringatan tsunami seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Kami sering menguji sirene ini setiap tanggal 26, dan meskipun sebagian besar berfungsi, ada juga yang tidak berfungsi," ungkapnya.
Keempat, BMKG menyebarluaskan peringatan dini bencana. "Masyarakat harus siap, dan itu berarti informasi harus disebarluaskan. Kami dibantu oleh Kominfo dalam hal ini," tambahnya.
Kewenangan Daerah
Masalahnya, kata Dwikorita, BMKG tak bisa bergerak sendiri dari hulu ke hilir lantaran faktor kewenangan dan otonomi daerah.
"BMKG tidak bisa sendiri karena BMKG lebih bekerja di arah hulu, ke teknologi, ke sistem yang memberikan peringatan dini," jelasnya.
"Ini kenapa kita ngomongin terus [soal megathrust] karena dia pada sadar, itu tidak mungkin hanya diserahkan kepada BNPB atau BMKG. Kami memfasilitasi, mengkoordinasikan, membimbing, tapi yang melaksanakan yang punya rakyat. Ini kan otonomi masing-masing," papar dia.
Contohnya seperti di atas, yakni soal pemeliharaan sirine dan sistem peringatan dini bencana lainnya yang sudah dihibahkan ke pemda. Di samping itu, ada soal tata ruang, persyaratan bangunan, hingga jalur evakuasi.
"Jalur evakuasinya kadang-kadang ditutup dibangun warung, saya lihat sendiri. Lho jalur evakuasi kok jd WC umum, ada warung, rambu-rambunya lho. Ini mau evakuasi jalurnya kemana? Rambu-rambunya udah tidak ada, tapi tidak dipelihara," urai mantan Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) itu.
BMKG mengungkapkan bahwa beberapa pemerintah daerah telah menunjukkan kemajuan yang baik dalam mitigasi megathrust.
"Ada yang sudah cukup baik, tetapi masih banyak yang perlu lebih siap," ujar Dwikorita.
Ia menyebutkan beberapa daerah yang telah melakukan mitigasi dengan baik, seperti DI Yogyakarta, Bali, dan Sumatra Barat.
Namun, Dwikorita menyoroti masalah yang muncul ketika terjadi pergantian kepala daerah. Pergantian ini sering kali menyebabkan ketidaksinambungan dalam program penanganan bencana yang sudah direncanakan sebelumnya.
Contoh konkretnya adalah gempa dan tsunami yang terjadi di Palu, Sulawesi Tengah, pada tahun 2018.
Dwikorita menjelaskan bahwa sejak tahun 2009, BMKG telah mendampingi pemerintah daerah, perguruan tinggi, sekolah, dan LSM di sana untuk mempersiapkan diri menghadapi Patahan Palu Koro.
"Semuanya sudah dipersiapkan, tata ruang dijalankan dengan baik. Saat semua siap, tidak ada gempa dan tsunami," katanya. "Namun, setelah pergantian pemerintah daerah, persiapan tersebut tidak diteruskan, dan akhirnya bencana itu terjadi."
Pada saat itu, tsunami setinggi 4 hingga 7 meter menghantam Palu, Donggala, dan Mamuju.
Selain itu, terjadi likuefaksi yang menyebabkan pergerakan tanah. Jumlah korban meninggal akibat gempa dan tsunami tersebut mencapai lebih dari 4.000 jiwa.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]