WahanaNews.co | Terpantau dari simulasi level air pasang yang dibuat lembaha nirlaba, Climate Central, sejumlah kawasan di Pantai Utara (Pantura), Jawa terancam terendam bak Atlantis.
Peta Climate Central menunjukkan, daerah-daerah di sepanjang Pantura ini memerah alias posisinya berada di bawah air pasang. Dan, terlihat adanya daerah terendam yang bertambah setiap 10 tahun, setidaknya dari tahun 2030 hingga 2060.
Baca Juga:
Ketua DPRD Sulbar dan Kadis PUPR Tinjau Tanah Bergerak di Mamuju Tengah
Melihat peta Climate Central, wilayah berikut ini rawan terendam atau terancam alami fenomena Atlantis. Mulai dari daerah Cilegon, sepanjang daerah sekitar pantai hingga ke Pasir Putih. Beberapa lokasi yang terancam terkena dampak diantaranya PLTU Jawa 7, Taman Nasional, juga pabrik tepung terigu.
Selain itu, terlihat deteksi air bakal merendam wilayah Domas, Tanar, hingga Ketapang.
Lalu berlanjut ke Pantai Indah Kapuk, dan juga mengancam Pantai Tanjung Pasir. Dan sebagian wilayah Tangerang.
Baca Juga:
La Nina Berpotensi Muncul di Indonesia, BMKG Ingatkan Waspada Dampak Buruknya
Sebagian besar wilayah di Jawa Barat juga terdeteksi bakal terendam. Mulai dari Marunda, sampai Polsek Muara Gembong Bekasi, Tabebuya Begedor, hingga sampai merendam wilayah-wilayah jangkauan Sungai Citarum.
Bahkan, berlanjut menggenangi wilayah sampai ke pantai pasir putih Cilamaya, Karawang.
Fenomena ini pun bisa berlanjut sampai ke sebagian wilayah di Pamanukan, kemudian, Kandanghaur, sebagian besar Cangkring, Indramayu.
Kemudian, tampak pada peta, titik merah atau indikasi air merendam daratan, juga mewarnai wilayah-wilayah di Jawa Tengah.
Yaitu sebagian di Klampok, Brebes, Sigedang, lalu sebagian besar wilayah Demak, Wdung, kemudian wilayah Pati.
Sebagian besar wilayah Lamongan, dan juga sebagian Surabaya pun tak luput dari ancaman ini.
Pengamat Tata Kelola Kota dari Universitas Pakuan (Unpak) Budi Arief mengatakan, dari aspek tata kota, sejarah menunjukkan, pembangunan wilayah Jawa Barat dulunya memang dimulai dari Pantai Utara sebagai wilayah pemukiman dan pusat pertumbuhan. Sedangkan, Selatan Jawa untuk pertanian dan perkebunan.
Hal ini, kata dia, bisa saja menjadi salah satu faktor berpengaruh terhadap potensi terjadinya subsidensi atau penurunan muka tanah. Ini, kata dia, jika dilihat dari aspek tata kota suatu wilayah.
Faktor lain, tambahnya, ada juga pengaruh iklim.
"Nah bicara tata kota, masing-masing kota punya daya tampung lingkungan. Dan ada pengaruh iklim juga. Dan yang jelas, seharusnya, pembangunan perkotaan memang harus menerapkan buffer zone. Ini wajib untuk wilayah sekitar pantai, sekian meter tidak boleh ada pembangunan. Tapi, saya lihat memang, ini belum diterapkan di sepanjang Pantura," kata Budi kepada CNBC Indonesia, dikutip Jumat (21/10/2022).
Dalam mitigasi kebencanaan, lanjutnya, pembangunan suatu kota harus memperhitungkan risiko terjadinya tsunami.
"Makanya diperlukan buffer zona itu, yang bisa menjaga infrastruktur di sekitar pantai itu dari potensi bencana. Seharusnya tata kota pun mengacu ke situ untuk jangka panjang," katanya.
Hanya saja, imbuh dia, memang dibutuhkan kemauan dan politik anggaran untuk memberlakukan standar tersebut sebagai sesuatu yang baku.
"Karena justifikasi akan menimbulkan masalah. Ini menjadi area abu-abu. Harus ada komitmen, misalnya sudah ada pemetaan. Tiba-tiba ada developer membangun pabrik di kawasan pemukiman. Seharusnya ada master plan tadi, pemetaan kawasan fungsi tata ruang," pungkas Budi. [tum]