WahanaNews.co, Jakarta - Pergerakan benua merupakan fenomena alam yang menyebabkan pergeseran posisi benua di permukaan Bumi. Adanya pemisahan dan penggabungan lempeng-lempeng Bumi menciptakan bentuk baru pada topografi Bumi.
Sebagai hasil dari pergerakan lempeng-lempeng Bumi, para ahli geologi mengalami kesulitan dalam menemukan lokasi salah satu benua yang telah lama menghilang, yakni benua Argoland.
Baca Juga:
Percepat Target Transisi Energi, PLN Siap Kembangkan Sejumlah Skenario Agresif
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Utrecht University dan dipublikasikan dalam jurnal Gondwana Research pada Oktober 2023, para ahli geologi berhasil menemukan beberapa lempeng daratan misterius yang tersembunyi di bawah pulau-pulau di wilayah Asia Tenggara bagian timur.
Lempeng-lempeng tersebut dipercayai sebagai sisa-sisa dari benua Argoland. Benua Argoland sendiri merupakan pecahan dari benua Australia yang telah hilang dan terpisah sejak sekitar 115 juta tahun yang lalu.
Eldert Advokaat, seorang ahli geologi dari Universitas Utrecht, menjelaskan, "Kami benar-benar berhadapan dengan kumpulan informasi, itulah mengapa penelitian kami memerlukan waktu yang cukup lama. Kami menghabiskan tujuh tahun untuk memecahkan teka-teki tersebut," seperti yang disampaikannya dalam keterangan resmi.
Baca Juga:
Percepat Target Transisi Energi, PLN Siap Kembangkan Sejumlah Skenario Agresif
Melalui studi tersebut, peneliti mengatakan, manusia kini dapat mengetahui penyebab persebaran flora dan fauna seperti saat ini.
Dilansir dari laman Space.com, para peneliti sempat kebingungan mengenai benua Argoland. Sebab, benua ini tidak seperti India, yang terpisah dari Gondwana sejak 120 juta tahun yang lalu dan masih berbentuk daratan utuh.
Argoland terpisah dari bagian barat Australia sejak 115 juta tahun yang lalu dan terpotong menjadi beberapa bagian. Potongan-potongan "benua pita" tersebut ditemukan peneliti di sekitar Asia Tenggara.
"Kami tahu itu pasti berada di suatu tempat di utara Australia, jadi kami berharap menemukannya di Asia Tenggara," ujar Advokaat kepada Live Science.
Menurut Advokaat, para peneliti mendapat pencerahan bahwa Argoland merupakan rangkaian pecahan benua, bukan bongkahan padat ketika memahami bahwa wilayah Asia Tenggara terpecah menjadi dua bagian.
"Situasi di Asia Tenggara sangat berbeda dengan tempat-tempat seperti Afrika dan Amerika Selatan, di mana sebuah benua terpecah menjadi dua bagian," kata Advokaat.
Berdasarkan hipotesis ini, mereka menemukan bahwa Argoland tidak benar-benar menghilang. Peneliti meyakini bahwa Argoland bukan massa padat, melainkan benua mikro yang dipisahkan oleh dasar laut.
Layaknya sebuah puzzle, kelompok pecahan-pecahan benua ini merupakan sekumpulan daratan yang sangat luas dan terfragmentasi di bawah pulau-pulau di sebelah timur Indonesia.
"Pecahan-pecahan tersebut membentuk kolase. (Benua) Argoland tersembunyi di bawah hutan hijau di sebagian besar wilayah Indonesia dan Myanmar," tulis peneliti dalam pernyataannya, dilansir EurekAlert.
Oleh karena itu, Advokaat bersama rekan-rekan peneliti lainnya menciptakan istilah baru untuk mendefinisikan Argoland yaitu "Argopelago".
"Pecahnya Argoland dimulai sekitar 300 juta tahun yang lalu," tambah Douwe van Hinsbergen, rekan peneliti dan seorang ahli geologi dari Universitas Utrecht.
Berdasarkan temuan ini, peneliti akhirnya lebih memahami garis fauna tak kasat mata yang memisahkan jenis fauna asiatis dan australis.
Garis Wallace melintasi bagian tengah Indonesia, antara Kalimantan dan Sulawesi. Garis ini menjadi pemisah jenis-jenis mamalia, burung, bahkan spesies manusia purba di kepulauan Asia Tenggara.
Awalnya, keberadaan penghalang ini membuat para ilmuwan bingung karena terdapat perbedaan yang signifikan dalam satwa liar di pulau tersebut.
Di sebelah barat garis tersebut, terdapat mamalia berplasenta seperti kera, harimau, dan gajah.
Namun, di wilayah timur, di mana marsupial dan kakatua yang biasanya diidentifikasi dengan Australia lebih umum, mamalia berplasenta hampir tidak ditemukan, meskipun daerah ini berdekatan.
Dilansir dari Science Alert, kondisi ini mungkin terjadi karena Argoland membawa serta satwa liar dari Australia yang kemudian tersebar ke wilayah Asia Tenggara.
"Rekonstruksi ini memiliki signifikansi besar dalam pemahaman proses-proses seperti evolusi keanekaragaman hayati dan iklim, atau untuk menemukan sumber daya alam," ungkap van Hinsbergen.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]