WahanaNews.co - Setelah beberapa minggu bekerja dalam pekerjaannya sebagai ahli patologi forensik, Ryan Blumenthal menerima panggilan untuk memeriksa jenazah yang ditemukan di sebuah lapangan.
Pada jenazah tersebut, pakaian korban terkoyak dan gendang telinganya pecah.
Baca Juga:
Hujan Petir Bukan Masalah! Begini Cara Pesawat Modern Tetap Aman di Udara
Blumenthal, yang saat itu bekerja di Universitas Pretoria di Afrika Selatan, menggambarkan pemandangan ini sebagai sangat mengerikan. Hal ini dikutip oleh Live Science pada bulan Juli yang lalu.
Yang perlu dicatat, penyebab kematian korban bukanlah tindakan seorang pembunuh berantai, melainkan disebabkan oleh petir. Fenomena bermuatan listrik ini dapat mengirimkan jutaan volt listrik ke seluruh tubuh manusia yang malang berada di tengah-tengahnya.
Sengatan petir bisa menembus tubuh siapa pun dalam waktu yang sangat singkat, dan sering kali tidak meninggalkan tanda yang jelas karena kecepatannya yang luar biasa.
Baca Juga:
BMKG Ingatkan Sejumlah Daerah Siaga Hujan Lebat 5-11 Juli 2024
Kekuatan destruktif yang dibawa oleh petir memang sangat menakutkan. Namun, karena pengalamannya dalam memeriksa kasus-kasus seperti ini, Blumenthal kini telah menjadi salah satu ahli patologi petir terkemuka di dunia.
Sebagian besar individu yang meninggal akibat tersambar petir mengalami kematian mendadak karena serangan jantung. Hal ini terjadi karena tegangan listrik yang sangat tinggi dari sambaran petir mengacaukan ritme alami jantung.
Orang yang menjadi korban sambaran petir mungkin juga mengalami kerusakan pada gendang telinga karena dampak dari gelombang tekanan yang ditimbulkan. Sistem pernafasan mereka dapat menjadi terganggu, atau dalam kasus yang sering terlihat, mereka dapat menderita luka bakar sekunder karena pakaian atau rambut mereka terbakar.
Namun, tidak semua yang tersambar petir akan meninggal. Sekitar 90 persen dari orang yang mengalami insiden seperti ini selamat.
"Mereka yang bertahan hidup biasanya mengalami kerusakan saraf, gangguan stres pasca-trauma (PTSD) dan gejala neurologis, mirip dengan cedera pasca gegar otak yang dialami pemain sepak bola, seperti gangguan penilaian dan kesulitan berkonsentrasi," kata Dr Mary Ann Cooper, seorang spesialis keselamatan petir di Dewan Keamanan Petir Nasional AS dan profesor kedokteran darurat emerita di Universitas Illinois Chicago.
Cooper melanjutkan, bagaimana cedera otak tersebut terjadi belum dapat dijelaskan secara pasti. Hal itu karena rendahnya jumlah sambaran petir, dan sedikitnya dana untuk penelitian.
Para ahli berpendapat, cedera otak kemungkinan disebabkan oleh kombinasi gangguan jaringan akibat arus listrik dan trauma benda tumpul akibat perubahan tekanan barometrik secara tiba-tiba. Kondisi tersebut bisa menjadi parah dan bahkan melemahkan.
Beberapa orang yang selamat setelah tersambar petir melaporkan kehilangan ingatan, nyeri saraf kronis, depresi. Bahkan, ada yang menganggap kehilangan kemampuan psikis seperti prekognisi.
“Saat Anda tersambar petir, Anda bukan orang yang sama lagi,” kata Blumenthal kepada Live Science.
Beberapa orang yang selamat melaporkan muncul gambar Lichtenberg (pola khas) seperti pakis di kulit mereka. Diperkirakan, pola itu muncul dari pembuluh darah yang rusak sehingga mengeluarkan cairan ke jaringan di sekitarnya.
Dalam laporan kasus tahun 2020 yang terbit di The New England Journal of Medicine, seorang pria berusia 54 tahun yang tersambar petir disebut awalnya pingsan.
Ia mengalami mati rasa di beberapa bagian tubuhnya, dan muncul pola Lichtenberg di lengan kiri, paha, punggung, dan bokongnya.
Namun, pola-pola tersebut tidak menimbulkan rasa sakit, dan hilang dua hari kemudian ketika dia kembali ke dokter.
Rekor dunia untuk cedera tersambar petir terbanyak adalah Roy Sullivan, seorang penjaga Taman Nasional Shenandoah. Antara tahun 1942 dan 1977, Sullivan disambar petir sebanyak tujuh kali.
Meskipun dia menderita luka bakar karena rambut dan pakaiannya terbakar, Sullivan selamat dari ketujuh serangan tersebut. Dia meninggal karena bunuh diri pada tahun 1983 pada usia 72 tahun.
"Pikiran untuk bunuh diri adalah gejala lain yang dialami oleh beberapa penyintas sambaran petir, yang dapat mengalami rasa sakit yang parah dan masalah pemulihan setelah kejadian tersebut," kata Steve Mashburn, yang punggungnya patah akibat sambaran petir tahun 1969 kepada The Washington Post.
Mashburn kini memimpin kelompok dukungan internasional untuk para penyintas petir.
Untungnya, cedera akibat petir termasuk yang paling dapat dicegah di negara maju. Jika Anda berada di luar saat terjadi badai petir, cukup lari sekuat tenaga ke tempat yang aman.
“Dan jangan keluar sampai tidak ada kilat dan guntur selama 30 menit,” kata Cooper.
Blumenthal memperingatkan, hanya antara 3 sampai dan 5 persen sambaran petir yang merupakan sambaran langsung.
Cedera kontak, yang terjadi saat seseorang menyentuh suatu seperti pohon atau bangunan saat benda tersebut tersambar petir, merupakan 5 persen cedera petir lainnya.
Cedera petir yang paling umum terjadi akibat kilatan samping dan arus tanah, yang mencakup lebih dari 80 persen. Dalam kilatan samping, korban sedang berdiri di dekat suatu benda ketika tersambar petir, menyebabkan sebagian potensi listrik memancar ke orang yang melihatnya.
Arus tanah juga serupa, hanya saja terjadi ketika petir menyambar tanah di bawah kaki korban. Insiden-insiden ini dapat membahayakan banyak orang sekaligus.
“Inilah sebabnya (ada kejadian) seluruh kawanan hewan musnah karena sambaran petir,” kata Blumenthal.
Sebanyak 10 hingga 12 persen cedera petir arus tanah disebabkan oleh fenomena aneh aliran pita ke atas.
Ini terjadi karena gaya listrik bermuatan positif di tanah tertarik ke awan badai bermuatan negatif di atasnya.
Saat muatan positif menumpuk, ia akan mengirim semacam batang udara bermuatan ke langit. Itu yang kemudian disetrum ke bawah.
Saat ini, kematian akibat petir relatif jarang terjadi di Amerika Serikat, berkat upaya Cooper dan rekan-rekannya di Dewan Keselamatan Petir Nasional.
Sejak tahun 2001, dewan itu telah mengadakan Pekan Kesadaran Keselamatan Petir tahunan untuk menarik perhatian terhadap bahaya sambaran petir.
Ketika inisiatif tersebut dimulai, Amerika mencatat rata-rata sekitar 55 kematian akibat petir pada setiap tahun. Pada tahun 2022, jumlah tersebut turun menjadi 19, berdasarkan data Lembaga Informasi Asuransi.
Kini, Cooper dan Blumenthal berharap dapat membawa tingkat kesadaran yang sama, serta sumber daya seperti penangkal petir ke Afrika.
Inisiatif baru Cooper, Pusat Jaringan Petir dan Elektromagnetik Afrika (ACLENet) berfokus pada pengurangan kematian akibat petir bagi manusia dan ternak di seluruh benua.
Mengutip Republika, misi tersebut sangat penting mengingat laju perubahan iklim yang semakin cepat, yang mengakibatkan badai yang lebih sering dan parah.
“Kita akan melihat lebih banyak cuaca ekstrem dalam periode waktu yang lebih singkat,” kata Blumenthal. Jadi, tambah dia, mereka harus menangani masalah mematikan tersebut dengan serius.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]