Oleh AHMAD NAJIB BURHANI
Baca Juga:
Telkom Ajak Generasi Muda Berinovasi Melalui Digitalisasi
PADA
12 Agustus 2021, Kompas membuat berita dengan
judul Riset Tak hanya Berhenti pada Publikasi.
Agenda-agenda riset diharapkan "relevan dengan kebutuhan masyarakat dan
pembangunan di semua sektor".
Baca Juga:
Mahasiswa Diminta Ciptakan Inovasi dan Lapangan Kerja dalam Sektor Pertanian Modern
Judul dan isi
berita itu mengingatkan kepada instruksi Menteri Pendidikan Jepang,
Hakubun Shimomura, kepada 86 universitas negeri di sana pada Juni 2015.
Dalam
instruksi tersebut, ia meminta kampus-kampus itu mengambil "langkah-langkah
aktif untuk menghapus fakultas-fakultas (ilmu sosial dan humaniora) atau
mengubahnya untuk melayani area yang lebih memenuhi kebutuhan masyarakat".
Riset memang
tak seharusnya berhenti pada publikasi.
Saya setuju
dengan kalimat itu.
Namun,
pernyataan itu bisa saja dengan mudah disalahpahami atau bahkan dengan sengaja
disalahartikan.
Pernyataan
tersebut bisa menjadi kalimat yang beracun.
Pernyataan
tersebut, misalnya, dipakai oleh mereka yang lemah dalam publikasi untuk
menjadi dalih agar bisa tidak melakukan publikasi sama sekali.
Akibat paling
ekstrem dari kalimat itu tidak saja berhentinya upaya untuk menggenjot
publikasi, tetapi juga tak ada karya atau inovasi nyata yang berdampak pada
masyarakat dan membantu ekonomi nasional.
Publikasi
adalah langkah untuk memperkenalkan riset dan inovasi kepada masyarakat
akademik dunia agar di-review,
diuji metode
dan temuannya, dicek otentitasnya, dan agar ada koreksi serta falsifikasi
sehingga bisa dilakukan perbaikan.
Dengan cara
itu, keilmuan akan terus maju serta berkembang.
Publikasi
adalah proses meruntutkan logika dan argumen sehingga ia bisa tertata secara
rapi dan dibaca dengan mudah oleh masyarakat.
Ketika
tuntutan menulis di jurnal terindeks global, seperti Scopus dan Web of Science (WoS),
digalakkan
di kampus-kampus dan lembaga penelitian, banyak ilmuwan kita yang kemudian
keluar dari tempurungnya dan melihat wacana akademik di mancanegara.
Mereka lantas
mulai mencoba dan berlomba untuk masuk dalam komunitas akademik dunia dengan
memublikasikan karya-karya mereka.
Ketika
sebagian dari akademisi kita mulai bersemangat untuk bersaing dengan para
akademisi asing, tiba-tiba hendak dimatikan semangatnya dengan pernyataan yang
kurang apresiatif terhadap publikasi.
Ini bisa
menjadi seperti menyebarkan energi negatif di ranah akademik.
Memang tentu
saja harus diakui bahwa dorongan untuk melakukan publikasi internasional itu,
dalam beberapa kasus, tidak diikuti dengan langkah atau upaya yang benar dengan
melakukan publikasi di jurnal-jurnal yang bereputasi baik.
Sebagian
terjebak pada predatory journals atau jurnal
abal-abal, semata demi memenuhi tuntutan kepangkatan atau kelulusan sekolah.
Bahkan, tak
sedikit yang melakukan tricking dengan menggunakan
"calo Scopus" atau "peternak artikel
ilmiah" untuk memenuhi tuntutan itu.
Kelemahan-kelemahan
seperti itu mestinya tak lantas menjadi alasan untuk kemudian menghapuskan atau
mematikan gairah melakukan publikasi internasional dan bersaing dengan
sarjana-sarjana asing di kancah global.
Bias Ilmu Eksakta
Pernyataan
bahwa riset dan pendidikan tak boleh berhenti pada publikasi itu juga kadang
bias ilmu eksakta.
Contoh-contoh
yang digunakan sering kali lebih pada produk inovasi ilmu eksakta, seperti
produksi mesin.
Ini membawa
kita kepada dua asumsi.
Pertama,
paradigma keilmuan kita memang tidak seimbang dalam melihat ilmu eksakta dan
non-eksakta.
Kedua,
inovasi itu dianggap hanya terjadi di ilmu eksakta dan tidak terjadi pada ilmu
sosial humaniora (soshum).
Dalam
pertemuan dengan birokrat di beberapa kementerian, sering kali ada tuntutan
agar kontribusi dari penelitian ilmu soshum itu seperti yang terjadi di ilmu
eksakta yang bisa menciptakan mesin, robot, dan obat.
Dalam
pembuatan mobil, misalnya, tugas sebuah riset adalah menyediakan roda, riset
yang lain mempersiapkan pintu dan kaca, dan riset yang lain lagi khusus terkait
mesin dan interior, begitu seterusnya.
Paradigma
yang sama kemudian dibawa ke ilmu soshum.
Ketika
disodorkan riset tentang demokrasi, tuntutannya adalah bagaimana indeks
demokrasi Indonesia bisa membaik setiap tahun.
Ketika
disodorkan riset ekonomi terkait masyarakat nelayan, tuntutannya adalah
bagaimana pendapatan para nelayan itu terus merangkak naik.
Tentu saja
tuntutan seperti itu terlihat seperti absah belaka.
Namun, itu
sebetulnya hanya satu aspek saja dari riset tentang demokrasi dan ekonomi
nelayan.
Banyak aspek
lain yang bisa diteliti terkait demokrasi dan ekonomi.
Perlu ditekankan
juga, banyak faktor yang bisa memengaruhi fenomena sosial.
Demokrasi dan
terorisme, misalnya, tidak bisa dilihat seperti ketika kita beternak kambing.
Ia juga
berbeda dari mesin yang lebih predictable dan tidak banyak
berubah.
Karena itu,
seperti dalam kasus terorisme, meski persoalan ekonomi masyarakat membaik, tak
serta-merta terorisme hilang.
Sebagaimana
terjadi di Eropa dan beberapa kasus bom bunuh diri di Indonesia, para pelaku
bukanlah orang miskin.
Ada faktor
lain yang menyebabkan terorisme, seperti perilaku polisi dan pejabat pemerintah
yang membuat mereka marah dan kemudian memilih jalan terorisme.
Demikian juga
dengan proses demokrasi di Indonesia.
Ia bisa
banyak dipengaruhi oleh oligarki dan populisme.
Jika
paradigma yang dipakai dalam melihat fenomena sosial kemanusiaan itu sama
dengan kacamata dalam melihat mesin, kita akan kehilangan dimensi manusia itu
sendiri.
Terkait
inovasi, dari berbagai contoh, jarang sekali inovasi sosial ditampilkan.
Grameen Bank
di Bangladesh yang dirancang oleh Muhammad Yunus adalah contoh inovasi ilmu
sosial.
Inovasi ini
mendapat berbagai pengakuan, termasuk Hadiah Nobel.
Road map (peta jalan) pembangunan Papua yang disusun oleh Muridan dan timnya di Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) adalah contoh inovasi ilmu sosial lain.
Berbagai
survei dan pembuatan indeks adalah model lain dari inovasi sosial.
Penciptaan lagu,
musik, karya seni, dan busana adalah bentuk-bentuk inovasi yang terkait ilmu
humaniora.
Hal-hal
seperti ini yang jarang ditampilkan ketika berbicara tentang inovasi.
Dimensi Manusia
Pada
peringatan Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Hakteknas) 10 Agustus 2021,
Badan Riset dan Inovasi (BRIN) meluncurkan logo baru yang didominasi warna
merah, berbeda dari sebelumnya yang didominasi warna biru.
Logo terdiri
atas lima bentuk yang mewakili elemen manusia, angkasa dan ilmu pengetahuan,
Tanah Air atau biodiversitas, flora, dan fauna.
Simbol
manusia dari logo itu menunjukkan bahwa manusia dan kemanusiaan merupakan salah
satu pilar dari keberadaan lembaga riset nasional ini.
Elemen
manusia barangkali yang menjadi rumah bagi ilmu sosial dan humaniora.
Hal yang perlu
dijadikan catatan di sini, jangan sampai kemanusiaan ini lantas hanya menjadi
pajangan semata yang dilupakan dalam implementasi.
Seperti
Jepang, baru-baru ini University of Western Australia (UWA) juga berencana
menghapus ilmu soshum.
Inisiatif
penghapusan itu sepertinya tak melihat dengan baik fungsi atau kontribusi ilmu
itu dalam pembangunan dan kemanusiaan.
Padahal,
pembangunan dan sains itu tidak hanya terkait mesin, tetapi lebih merupakan
sebuah kultur.
Seperti
dikatakan Fang Lizhi sebelum ia lari dari Beijing tahun 1989, sains itu bukan
hanya bagaimana mencipta atau memperbaiki lampu, melainkan ada "system of
thought (sistem pemikiran) yang berdiri di belakangnya".
Itulah yang
disebut dengan kultur inovasi.
Kultur atau
tradisi ilmiah seperti itulah yang kemudian membuat Eropa dan Amerika maju.
Penciptaan
tradisi ilmiah di masyarakat merupakan salah satu tujuan dari pengembangan ilmu
soshum.
Ia mengajak
manusia untuk berpikir kritis, kreatif, empatik, selalu mengembangkan rasa
ingin tahu, fleksibel, dan bisa beradaptasi.
Fungsi lain
dari ilmu soshum adalah memberikan etika dan rambu-rambu dalam penelitian
sehingga kejadian seperti di zaman Nazi dulu tidak terulang kembali.
Ketika itu,
ilmu pengetahuan digunakan untuk membantu kehancuran manusia.
Caranya bukan
dengan mengekang ilmuwan atau peneliti, melainkan memberikan kebebasan tanpa
batas bagi para ilmuwan dalam melakukan eksperimen, termasuk membunuh atau
menjadikan manusia hidup sebagai obyek ekperimentasi ilmiah (Heim, Sachse,
& Walker 2009, 10).
Tidak ada
etika dan empati.
Terakhir,
perlu keseimbangan ketika melihat ilmu eksakta dan non-eksakta, terutama dalam
arsitektur ilmu pengetahuan nasional dan dalam pengembangan BRIN.
Selain
perlunya keseimbangan, publikasi dan inovasi perlu dilihat sebagai dua sisi
mata uang, bukan sebagai dua hal yang saling berhadapan.
Karena itu, akademisi dan peneliti
tidak dituntut untuk memilih salah satunya, tetapi perlu melihatnya sebagai dua
hal yang saling melengkapi. (Ahmad Najib Burhani, Profesor Riset di LIPI
dan Anggota Akademi Ilmuwan Muda Indonesia)-qnt
Artikel ini sudah tayang di Kompas.id dengan judul "Publikasi versus Inovasi". Klik untuk
baca: www.kompas.id/baca/opini/2021/08/27/publikasi-versus-inovasi/.