WahanaNews.co | Gempa Lombok 2018 jadi salah satu peristiwa bencana alam yang menyita perhatian masyarakat dan peneliti.
Pasalnya saat itu terjadi beberapa rangkaian gempa bumi berupa foreshock, mainshock, dan aftershock yang memiliki magnitudo lebih dari 5,5.
Baca Juga:
Soal Bahaya Megathrust, BMKG Ingatkan Lagi Warga Sukabumi
Rangkaian kejadian gempa bumi bermula pada 29 Juli 2018 dengan magnitudo 6,4. Selanjutnya, BMKG mencatat sebanyak 585 gempa susulan sebelum gempa kedua mengguncang dengan magnitudo 6,9 pada 5 Agustus 2018.
Empat hari berselang, yaitu pada 9 Agustus 2018, kembali terjadi gempa bumi dengan magnitudo 5,9. Sepuluh hari kemudian, pada 19 Agustus 2018 terjadi dua gempa besar dengan magnitudo 6,3 dan 7,0.
Kejadian gempa tersebut kembali diikuti gempa susulan dengan magnitudo 5,5 pada 25 Agustus 2018.
Baca Juga:
BMKG Deteksi 7 Patahan Sesar Aktif Kepung Cianjur
Disamping gempa-gempa yang berkekuatan lebih kecil, BMKG mencatat lebih dari 2000 kejadian gempa susulan yang terjadi di Lombok, baik yang dirasakan maupun tidak.
Dikutip dari laman esdm.go.id, Pusat Survei Geologi mengungkap bahwa rangkaian kejadian gempa yang terjadi disebabkan oleh aktivitas sesar naik yang berada di bagian utara Pulau Lombok, yang merupakan bagian dari zona Sesar Naik Flores atau Flores Back Arc Thrust.
Apa itu Sesar Naik Flores?
Sesar Naik Flores yang juga dikenal dengan Patahan Naik Busur Belakang Flores atau Flores Back Arc Thrust adalah zina sesar yang memanjang dari timur laut Pulau Bali hingga utara Laut Flores.
Sebutan Flores Back Arc Thrust merujuk pada lokasinya yang berada di utara atau di bagian belakang zona subduksi Lempeng Indo-Australia yang ada di bagian selatan.
Sementara sebutan Sesar Naik Flores karena zona sesar ini dicirikan dengan mekanismenya yang naik (thrust fault).
Dilansir dari Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia Tahun 2017, Sesar Flores terdiri dari beberapa segmen.
Di antaranya segmen Lombok-Sumbawa sepanjang 310 km, segmen Bali sepanjang 84 kilometer, segmen Nusa Tenggara Timur sepanjang 236 kilometer, segmen Wetar sepanjang 216 kilometer, segmen Nusa Tenggara Barat sepanjang 217 kilometer, dan segmen Nusa Tenggara Tengah sepanjang 173 kilometer.
Ilustrasi Sesar Naik Flores.Dok. Institut Teknologi Sepuluh Nopember Ilustrasi Sesar Naik Flores.
Sesar Naik Flores lebih aktif daripada zona subduksi
Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Daryono melalui akun Twitternya pada 15 September 2018 membandingkan aktivitas Sesar Naik Flores di utara dengan zona subduksi yang ada di bagian selatan.
“Mengapa Sesar Naik Flores (Flores Thrust) lebih galak dari aktivitas tumbukan lempeng di selatan?” tulisnya.
Dijelaskan Daryono bahwa Sesar Naik Flores lebih aktif daripada zona subduksi karena tekanan coupling “subduksi landai” dari Flores Thrust ke bawah Kepulauan Sunda Kecil (Bali, NTB, NTT) lebih kuat.
Sedangkan slab Lempeng Indo-Australia memiliki sudut tukik curam karena umurnya yang sudah tua, sehingga tekanan coupling dengan busur vulkanik Kepulauan Sunda Kecil lebih lemah dan jika patah maka gempanya tidak besar.
Lebih lanjut, Daryono juga menyebut adanya fakta bahwa gempa di zona subduksi selatan NTB-NTT sangat jarang terjadi.
Pemicu tsunami Flores 1992
Dilansir dari pemberitaan Kompas.id, disebut bahwa tsunami besar sebagaimana pernah melanda Flores dan sekitarnya pada 1992.
Bencana gempa bumi yang melanda Flores pada Sabtu, 12 Desember 1992 pukul 13.29 WITA berkekuatan M 7,5 yang berpusat di kedalaman laut, 35 kilometer (km) arah barat laut Kota Maumere.
Gempa tersebut memicu longsor bawah laut yang menimbulkan gelombang tsunami. Kombinasi gempa dan longsor itu membuat tsunami Flores menjadi mematikan.
Bencana tsunami Flores 1992 merenggut nyawa 2.500 orang. Sementara kerusakan terparah dialami Kota Maumere dan Pulau Babi, sebuah pulau berdiameter 2,5 kilometer yang berada di utara Pulau Flores.
Sebuah motor boat yang terlempar sampai ke darat akibat gelombang pasang raksasa (tsunami) yang melanda Pulau Flores, Sabtu, 12 Desember 1992.Kompas/Budiman Tanuredjo Sebuah motor boat yang terlempar sampai ke darat akibat gelombang pasang raksasa (tsunami) yang melanda Pulau Flores, Sabtu, 12 Desember 1992.
Dalam publikasi berjudul Damage to Coastal Villages Due to the 1992 Flores Island Earthquake Tsunami (1995), peneliti Jepang yang berkunjung ke pantai utara Flores dan Pulau Babi dua pekan setelah kejadian menemukan beberapa fakta terkait ketinggian gelombang tsunami kala itu.
Disebutkan bahwa ketinggian tsunami di Kampung Wuring (Flores) mencapai 3,2 meter.
Gelombang tersebut sontak membuat seluruh kampung yang berada hanya 2 meter di atas permukaan laut itu tenggelam dan menelan korban tewas sebanyak 87 orang.
Namun di Desa Riangkroko, di sisi timur Pulau Flores, tinggi gelombang tsunami bahkan mencapai 26,2 meter dan menewaskan 137 orang.
Tingginya gelombang di Riangkroko itu akibat gempa memicu longsor di Teluk Hading yang membuat kekuatan tsunami menjadi berlipat ganda.
Dari kedahsyatan dan dampaknya, tsunami Flores menjadi salah satu yang terkuat di Indonesia, selain tsunami Aceh 2004.
Sejak kejadian itu, sumber gempa di sebelah utara Flores itu mulai diselidiki. Selanjutnya temuan tersebut dikenal sebagai Sesar Naik Flores karena memiliki mekanisme patahan naik. [eta]