WahanaNews.co | Sekolah Menengah Kejuruan seharusnya tidak hanya diarahkan untuk memenuhi sektor dunia usaha dan industri yang secara umum masih memberi upah sesuai upah minimum daerah.
Keberadaan SMK dapat “dikawinkan” dengan desa untuk memperkuat pengembangan desa agar siswa tetap punya pilihan untuk berkiprah di daerahnya masing-masing.
Baca Juga:
Dikbud Sultra Gagas Program Tenun Masuk Sekolah untuk Lestarikan Warisan Budaya Daerah
Ketua Tim Pendampingan SMK Pusat Keunggulan Tahun 2021 dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Profesor Ambar Pertiwi, mengatakan, program pengembangan SMK harus berkesinambungan.
Pendampingan UGM untuk 21 SMK Pusat Keunggulan bersama Kemendikbudristek akan diperkuat dengan keunggulan SMK bersinergi dengan masyarakat dan pihak desa di sekitar SMK atau asal desa siswa.
“Kami ingin SMK Pusat keunggulan yang kami bina bisa terus mandiri. Potensi SMK itu sebenarnya besar untuk kemajuan masyarakat desa karena banyak SMK di desa-desa. Ada gerakan SMK Mbangun Desa yang secara mandiri mampu dikembangkan di SMK di desa-desa dan bermanfaat bagi siswa dan masyarakat. Siswa SMK di desa tak semua harus pergi dari desanya untuk bisa bekerja,” kata Guru Besar Fakultas Peternakan UGM itu pada pertemuan focus group discussion dalam rangka pendampingan SMK Pusat Keunggulan oleh Perguruan Tinggi UGM, di Yogyakarta, Jumat (3/12/2021).
Baca Juga:
SMK Bima Utomo BS Dinilai Gagal, Siswa Dipaksa Mundur: Kemanakah Peran Dinas Pendidikan?
Ambar bersama sejumlah guru besar dan dosen lintas disiplin ilmu yang tergabung di Pusat Studi Energi UGM berkomitmen mendampingi 21 SMK Pusat Keunggulan untuk memastikan capaian pembelajaran dan aspek link and match.
SMK Pusat Keunggulan merupakan salah satu program dari Merdeka Belajar.
Semangat membangun desa “disuntikkan” kepada SMK Pusat Keunggulan dengan belajar langsung dari sejumlah SMK Mbangun Desa yang telah lebih dari tiga tahun berjalan secara mandiri dan sukarela.
Founder SMK Mbangun Desa, Marlock, mengatakan, faktanya SMK banyak berlokasi di desa dengan siswa, guru, kepala sekolah, dan orangtua yang juga berada di desa.
Karena program link and match senantiasa berorientasi pada industri yang umumnya banyak berada di kota, maka SMK di desa pun yang jauh dari akses dunia usaha dan industri tidak mampu keluar dari jebakan pemikiran tersebut.
Padahal, SMK di desa itu bagian dari infrastruktur desa dan bisa berkontribusi untuk bersama-sama desa mengembangkan industri desa, yakni usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
“Banyak SMK di desa yang kekurangan murid, terutama swasta. Padahal, banyak pula di sekitarnya anak-anak putus sekolah SMP. Hal ini karena SMK belum menyadari marwahnya di desa untuk bisa meyakinkan masyarakat bahwa lulusan SMK di desa tetap bisa produktif, tidak harus ke kota. Terbukti, saat pandemi Covid-19, banyak pengangguran lulusan SMK yang perusahaannya tutup lalu balik ke desa. Dari sinilah, SMK Mbangun Desa bisa jadi keunggulan SMK di masa depan,” kata Marlock, yang juga pendiri Forum Peduli Pendidikan dan Pelatihan Menengah Kejuruan Indonesia (FP3MKI).
Tidak salah ketika SMK sebagian besar berpikir tentang industri.
Namun, realitasnya banyak SMK di desa yang tidak bisa terhubung ke industri.
Selain itu, lulusan SMK juga tidak semua mau merantau ke luar desa/daerah, lalu jadi pengangguran di desa akibat tidak disiapkan untuk bisa hidup mandiri dan sejahtera di desa.
Saat ini ada 14.464 SMK dengan total sekitar lima juta siswa dan 85 persen di antaranya berada di desa.
Adapun, lulusan SMK mencapai sekitar 1,69 juta siswa per tahun.
“Mau kerja di mana semua lulusan itu?” kata Marlock.
Marlock mengingatkan, tujuan SMK seharusnya menghapus Kemiskinan.
Hal ini tidak cukup dengan ijazah dan sertifikasi.
“Program SMK Pusat Keunggulan harus bisa dikembangkan untuk menjawab tantangan riil di masyarakat yang dihadapi siswa. Tidak cukup hanya untuk menyiapkan siswa menjadi pekerja dengan upah rendah,” kata Marlock.
Berkolaborasi
SMK Mbangun Desa mendorong SMK untuk mengenalkan dan membuka diri kepada masyarakat dan pihak desa.
Perjanjian kerja sama pun dirancang dengan duduk bersama, sehingga desa-SMK berkolaborasi meningkatkan sumber daya manusia dan sumber daya alam yang ada di desa untuk meningkatkan kesejahteraan siswa dan masyarakat lewat kewirausahaan.
Masyarakat bisa mengakses sarana dan prasarana di SMK, sebaliknya SMK juga bisa mendapat dukungan dari desa.
Kepala SMK Al Falah Moga, Pemalang, Rujito DW, mengatakan, SMK punya potensi, tapi belum terbuka dan tahu untuk memanfaatkannya.
Selama ini program yang didengungkan selalu tentang bermitra dengan industri dan menyiapkan siswa terserap ke sana.
Padahal, siswa SMK di desa juga sebenarnya punya hak sama, tapi sulit mengakses ke industri, termasuk untuk magang atau praktik kerja industri terbatas.
Tamatan SMK di industri hanya akan menduduki posisi sebagai operator dan untuk level di atasnya butuh gelar diploma.
Padahal, di desa juga ada potensi-potensi industri, mulai dari pertanian, peternakan, kelautan, dan sebagainya.
Dengan gerakan SMK Mbangun Desa yang dikembangkan sejak tahun 2019, inisiatif untuk bergerak dengan pihak desa pun terbuka.
Sekolah membangun bank mini sekolah yang kini yang mengelola dana puluhan miliar rupiah, lalu masyarakat desa yang susah mengakses pinjaman ke bank --karena butuh agunan-- bisa meminjamnya untuk modal usaha tanpa bunga.
Adapula Gerakan SMK Mbangun Desa di SMKN 1 Panji Situbondo, Jawa Timur.
Sekolah ini termasuk SMK Pusat Keunggulan, dan lewat pengembangan hotel pendidikan atau edutel, bisa berkontribusi untuk pendapatan desa.
Di sana, para petani juga bisa berkembang karena ikut menyuplai kebutuhan makanan para tamu hotel.
Sementara itu, Kepala SMK Negeri 6 Semarang, Almiati, mengatakan, di kota pun program SMK Mbangun Desa bisa disesuaikan yakni dengan menjangkau masyarakat sekitar.
Sekolah mendekati pihak kelurahan di sekitar sekolah dan memetakan kebutuhan masyarakat.
Ternyata, pandemi memukul para ibu-ibu yang mengalami PHK.
Lalu diadakan pelatihan membuat kue, merias, dan menjahit.
“Para ibu PKK Kami undang ke sekolah. Mereka kagum melihat fasilitas pelatihan yang lengkap dengan standar industri. Dengan pelatihan, mereka jadi bisa tetap mandiri meskipun tidak lagi bekerja di perusahaan,” kata Almiati.
Ambar mengatakan, sebanyak 21 SMK Pusat Keunggulan dampingan UGM akan diajak untuk untuk melaksanakan apa yang sudah dilakukan SMK Mbangun Desa agar memiliki keunggulan lebih.
“Minimalnya 21 SMK Pusat Keunggulan yang kami dampingi bisa terus mandiri meskipun program sudah selesai. Jangan tergantung pada proyek atau hibah dari pemerintah saja, tapi bisa memanfaatkan sumber daya manusia dan alam yang ada di desa. SMK harus menjadi sekolah menghapus kemiskinan dan sekolah meningkatkan kesejahteraan,” kata Ambar. [qnt]