WahanaNews.co, Jakarta - Berita tentang dunia yang mendekati ambang kehancuran terus beredar.
Sebuah artikel terbaru yang dipublikasikan dalam jurnal BioScience dan ditandatangani oleh lebih dari 15.000 ilmuwan dari 161 negara menyampaikan bahwa perubahan iklim di Bumi sedang berlangsung dengan cepat.
Baca Juga:
Sesuai Perintah Kapolri : Polda Riau Ungkap 171 Kasus Narkoba
Makalah tersebut menegaskan bahwa situasi perubahan iklim yang cepat dapat menyebabkan bencana global yang sangat serius pada akhir abad ini.
Para ilmuwan yang terlibat, sebanyak belasan ribu orang, memberikan peringatan bahwa kehidupan di Bumi saat ini menghadapi ancaman serius dan bergerak dengan cepat menuju "kiamat".
"Selama beberapa dekade, para ilmuwan secara konsisten telah memberikan peringatan tentang masa depan yang ditandai oleh kondisi iklim ekstrem, yang disebabkan oleh peningkatan suhu global yang diakibatkan oleh aktivitas manusia yang melepaskan gas rumah kaca berbahaya ke atmosfer," demikian tulis makalah tersebut, seperti yang dikutip dari Futurism pada Rabu (1/11/2023).
Baca Juga:
PLN Icon Plus Hadirkan ICONNEXT, Pameran Futuristik Terbesar di Indonesia
Sayangnya, makalah tersebut menambahkan, waktu untuk bertindak sudah habis.
Dalam sebuah pernyataan, Christopher Wolf, seorang peneliti pascadoktoral dari Oregon State University (OSU) dan salah satu penulis utama studi tersebut, menyampaikan makalah tersebut sambil mengungkapkan strategi mitigasi yang sangat penting.
"Kita tengah menghadapi potensi runtuhnya sistem alam dan sosial-ekonomi, serta dunia yang terancam oleh panas yang tidak dapat ditahan, kekurangan sumber daya alam, makanan, dan air bersih," ujar Wolf.
Dalam studi ini, seorang peneliti pascadoktoral dari OSU dan 11 rekan penulis lainnya menyertakan banyak poin data yang mengejutkan, menunjukkan bahwa pada tahun 2023, banyak rekor iklim yang telah dipecahkan dengan margin yang sangat besar.
Para penulis menunjuk secara khusus seperti musim kebakaran hutan Kanada yang sangat aktif tahun ini.
Peneliti mengatakan bahwa kejadian ini menunjukkan titik kritis menuju rezim kebakaran baru, yang bisa dibilang merupakan salah satu kalimat akademis paling menakutkan yang pernah ditulis.
William Ripple, seorang profesor kehutanan terkemuka di Oregon State University (OSU) dan salah satu penulis utama penelitian ini, menambahkan bahwa tahun ini telah membawa pola yang sangat mengkhawatirkan.
Pola tersebut tentu bukan berita yang menggembirakan, karena tindakan manusia dalam memperbaiki keadaan masih sangat terbatas.
Dalam pernyataannya, Ripple menyatakan, "Kami juga hanya menemukan sedikit perkembangan yang dapat dilaporkan terkait usaha manusia dalam melawan perubahan iklim."
Seperti banyak ilmuwan sebelumnya, 12 penulis studi dan ribuan penandatangan studi tersebut tidak hanya menyoroti industri bahan bakar fosil yang sangat polusi, tetapi juga perwakilan pemerintah yang mensubsidi mereka sebagai salah satu akar penyebab dari efek bola salju perubahan iklim ini.
Berdasarkan makalah tersebut, antara tahun 2021 dan 2022, subsidi bahan bakar fosil meningkat dua kali lipat dari US$531 miliar menjadi lebih dari US$1 triliun, meskipun perlu dicatat bahwa jumlah tersebut hanya mencakup Amerika Serikat, bukan negara lain.
"Kita perlu mengubah cara kita memandang darurat iklim, dari sekadar isu lingkungan hidup yang terisolasi menjadi ancaman yang bersifat sistemik dan eksistensial," demikian tulis para penulis makalah tersebut.
Para peneliti menyatakan bahwa untuk mencegah bencana lebih lanjut sebelum abad ke-21 berakhir pada 2100, diperlukan pergeseran dari penggunaan bahan bakar fosil dan juga upaya untuk mengatasi konsumsi berlebihan, terutama oleh orang-orang kaya.
Kedua langkah ini dianggap krusial untuk mencegah kerugian lebih lanjut dalam 77 tahun yang tersisa menuju akhir abad ini.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]