Pedagang Arab, Ibn Al-Faqih, misalnya, pada tahun 902 sudah menyebut Fansur sebagai wilayah penghasil kapur barus, cengkih, pala, dan kayu cendana.
Lalu ahli geografi Ibn Sa'id al Magribi yang hidup di abad ke-13 juga merinci secara spesifik bahwa Fansur penghasil kamper berasal dari Pulau Sumatra. Bahkan, jika ditarik mundur lebih jauh, ahli Romawi, Ptolemy, sudah menyebut nama Barus pada abad ke-1 Masehi.
Baca Juga:
Pembangunan SPAM Di Desa Tanjung Barus Terus Dilanjutkan, Pengamanan Disiagakan
Atas dasar ini, banyak warga Arab, khususnya para pedagang, berbondong-bondong ke Sumatra. Mereka rela melakukan pelayaran jauh dari Arab untuk mendapatkan kamper.
Sejarawan Claude Guillot dalam Barus Seribu Tahun yang Lalu (2008) menyebut, orang Arab tiba di Barus melalui perjalanan langsung dari Teluk Persia, melewati Ceylon (Sri Lanka), lalu tiba di Pantai Barat Sumatra.
Mereka biasa membawa kapal besar untuk mengangkut banyak kapur barus yang akan dijual tinggi di pasar internasional. Perlahan, kedatangan orang Arab ke Sumatra makin tinggi usai kamper asal Barus jadi yang bermutu tinggi mengalahkan kamper asal Malaya dan Kalimantan.
Baca Juga:
Keluarga Serayan GBKP Klasis Barus Sibayak Rayakan Natal Bersama
Pada titik inilah, Barus terbukti sebagai daerah penghasil kamper dan sudah berkembang jadi pelabuhan penting di Sumatra.
Muncul Agama Islam
Terungkapnya lokasi kapur barus di Indonesia membuat banyak pedagang Arab mengunjungi Barus untuk singgah hingga menetap. Jika mereka pergi ke China, maka pasti akan singgah dulu di Barus. Hanya saja, kedatangan mereka tak cuma bermotif perdagangan, tetapi juga turut menyebarkan agama Islam.