WahanaNews.co, Jakarta - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) melaporkan bahwa saat ini curah hujan di Indonesia cenderung tinggi di wilayah utara khatulistiwa, sementara di bagian selatan masih mengalami kekeringan.
Pola yang serupa juga terjadi pada awal musim hujan.
Baca Juga:
BMKG Hang Nadim: Kota Batam Berpotensi Hujan Sepanjang Hari Ini
Dalam Proyeksi Cuaca Selama Seminggu ke Depan untuk periode 12-18 Desember 2023, BMKG mencatat bahwa curah hujan yang tinggi diperkirakan akan terjadi di wilayah utara khatulistiwa, termasuk Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Gorontalo, Maluku Utara, Maluku, Papua Barat, dan Papua.
Di sisi lain, wilayah selatan ekuator masih mengalami kekeringan, termasuk Jawa hingga Nusa Tenggara.
Dalam konteks kedatangan musim hujan, BMKG mencatat bahwa wilayah utara khatulistiwa biasanya lebih awal menerima curah hujan. Sementara itu, di wilayah Jawa hingga Nusa Tenggara, musim hujan biasanya dimulai setidaknya pada bulan November.
Baca Juga:
Hingga 25 November: Prediksi BMKG Daerah Ini Berpotensi Cuaca Ekstrem
Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, menjelaskan bahwa perbedaan ini terkait dengan posisi geografis Indonesia. Bagian selatan Indonesia lebih dekat dengan Benua Australia, yang merupakan sumber angin kering yang membawa musim kemarau.
Sementara bagian utara Indonesia lebih dekat dengan Benua Asia, yang merupakan sumber angin yang membawa uap air yang memicu musim hujan.
Dwikorita juga menjelaskan bahwa awal musim hujan umumnya terkait dengan peralihan angin dari timur (dari arah Australia) menjadi angin dari barat (dari arah Asia), yang dikenal sebagai musim monsun Australia menjadi musim monsun Asia.
"Jadi akan terjadi pergantian saat ini yang berpengaruh angin dari Australia, gurun Australia, yang saat ini sedang musim dingin dan kering," ungkap Dwikorita, mengutip CNN Indonesia.
"Dan insyaAllah akan segera berganti dengan angin yang berasal dari benua Asia, dan akhirnya apabila angin itu berasal dari benua Asia yang membawa uap-uap air dari Samudera Pasifik di sekitar Asia, maka diharapkan segera memberikan awan-awan hujan dan mendatangkan musim hujan di wilayah kepulauan Indonesia," imbuhnya.
Dwikorita mengatakan, berdasarkan prediksi BMKG, angin timuran yang berasal dari Australia masih bakal aktif hingga November 2023, terutama di Indonesia bagian selatan, wilayah yang paling dekat dengan Benua Australia.
Sementara itu, angin baratan, penanda awal mula musim hujan yang berasal dari Benua Asia diprediksi akan datang lebih lambat dari normalnya.
Dwikorita pun mengungkap beberapa wilayah yang dekat dengan Benua Asia sudah lebih dulu mendapat musim hujan.
"Saat ini beberapa zona musim telah terkonfirmasi sudah mengalami musim hujan, yaitu sebagian besar Aceh, tentunya yg lebih dekat ke Asia, sebagian besar Sumut, sebagian Riau, Sumbar bagian tengah, dan sebagian kecil Kepulauan Riau," jelas dia.
Dwikorita menyebut pada September 2023 terdapat 24 zona musim atau 3,4 persen yang akan memasuki musim hujan. Beberapa di antaranya meliputi sebagian Sumatera Barat, Riau bagian selatan.
Kemudian, pada Oktober 2023, ada sekitar 69 zona musim atau 9,9 persen zona musim akan memasuki musim hujan.
"Yaitu Provinsi Jambi, Sumatera Selatan bagian utara, Jawa tengah bagian selatan, kemudian sebagian wilayah Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah bagian barat dan sebagian besar Kalimantan Timur," ujarnya.
Pada November terdapat sekitar 225 zona musim atau 36,5 persen zona musim yang akan memasuki musim hujan. Dwikorita menyampaikan wilayah yang dimaksud itu yakni Sumatera Selatan, Lampung, sebagian besar Banten, dan Jakarta.
"Lalu, Jawa Barat, sebagian besar Jawa tengah, sebagian Jawa Timur, Bali, sebagian kecil NTB, sebagian kecil NTT, Sulawesi Utara, Gorontalo, sebagian Sulawesi Tengah, sebagian besar Sulawesi Selatan, Maluku Utara bagian utara dan Papua Selatan bagian selatan," ucap dia.
Klimatolog dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Erma Yulihastin mengungkap dua kondisi berbeda yang dialami oleh bagian utara dan selatan khatulistiwa itu merupakan sebuah dinamika cuaca efek pemanasan global.
Menurut Erma, dalam dinamika cuaca awan-awan itu bukan kemudian menghilang sama sekali dari langit Indonesia. Menurut dia kekeringan di Jawa itu akibat awan hujan hanya terkonsentrasi di bagian utara garis ekuator.
"Yang menjadi pembeda dia si awan-awan itu, dan juga hujannya, kemungkinan besar atau potensinya itu terkonsentrasi hanya di garis ekuator ke utara. Jadi pembedanya, batasnya itu garis ekuator itu," jelas Erma dalam rekaman audio wawancaranya yang diunggah di akun X, Kamis (7/9). Erma sudah mengizinkan CNNIndonesia.com untuk mengutip rekaman suara tersebut.
"Jadi wilayah di selatan ekuator ini yang minim [hujan] itu dan ini konsisten karena kita sudah melihat dua bulan ini konsisten terus nih, enggak bisa awan ini tertarik ke selatan," imbuhnya.
Menurut Erma ini membuat sejumlah wilayah di pulau Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua masih kerap diguyur hujan, bahkan dengan intensitas lebat. Sementara, sebagian besar wilayah di Pulau Jawa, Bali, hingga Nusa Tenggara masih mengalami kekeringan ekstrem.
"Tapi beda dengan Sumatera yang dekat dengan Laut Cina Selatan, termasuk Kalimantan juga yang kondisinya malah banyak banget hujan di sana karena awan juga sedang marak terbentuk di sana. Ini beda. Karena memang, saya melihat begini, ini adalah fakta ekstrem yang juga harus kita waspadai," ujar dia.
Erma menjelaskan bahwa fenomena ekstrem saat ini adalah sebagian wilayah di Indonesia yang terletak di utara ekuator mengalami hujan ekstrem atau terus menerus. Di sisi lain, wilayah yang berada di selatan ekuator menghadapi kekeringan ekstrem.
"Jika kita melihat ke selatan ekuator, situasinya sebaliknya, yaitu kekeringan yang berlangsung terus menerus. Di utara ekuator, curah hujan terus menerus," sebutnya.
Jadi, lanjutnya, kondisi basah dan kering yang sangat dekat ini adalah sesuatu yang jarang terjadi, dan fenomena ini disebut sebagai 'front', yang berarti ada perbedaan yang sangat signifikan dalam jumlah uap air antara wilayah di utara yang lembap dan wilayah di Pulau Jawa yang kering.
"Ini adalah situasi ekstrem yang seharusnya tidak biasa, seharusnya perubahan tersebut harus berlangsung secara bertahap," jelasnya.
Erma juga mengatakan bahwa fenomena ini dapat terjadi karena dampak dari perubahan iklim.
"Apa yang sedang terjadi ini adalah hasil dari apa? Ini adalah dampak dari perubahan iklim. Faktanya adalah terdapat garis demarkasi yang disebut sebagai garis ekuator, di mana di utara garis ekuator, hujan deras terjadi karena tingkat kelembapan yang sangat tinggi," paparnya.
Namun, ketika memasuki wilayah laut Jawa, kondisinya sangat kering, terutama karena suhu permukaan laut di selatan Jawa sangat rendah dan meluas.
"Ini berarti bahwa awan sulit untuk terbentuk di wilayah tersebut," pungkasnya.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]