WAHANANEWS.CO, Jakarta - Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan Direktur Jenderal (Dirjen) Anggaran Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Isa Rachmatarwata, sebagai tersangka dalam kasus korupsi PT Asuransi Jiwasraya (Persero).
Penetapan ini dilakukan setelah tim penyidik menemukan dua alat bukti yang cukup untuk memperkuat dugaan keterlibatannya.
Baca Juga:
Negara Rugi Rp 16,8 Triliun, Dirjen Anggaran Kemenkeu Isa Rahmatawarta Jadi Tersangka Korupsi Jiwasraya
"Berdasarkan hasil pemeriksaan dan alat bukti yang telah diperoleh selama penyidikan, tim penyidik menetapkan satu orang tersangka, yaitu IR," ujar Direktur Penyidik Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Abdul Qohar, dalam konferensi pers, Jumat (7/2/2025).
Menurut laporan investigatif Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI), pengelolaan keuangan dan dana investasi Jiwasraya pada periode 2008–2018 menyebabkan kerugian negara sebesar Rp16,8 triliun.
Pasal yang Dikenakan
Baca Juga:
Di Kasus Jiwasraya PT Prospera Divonis Bayar Rp 11,5 Miliar
Isa Rachmatarwata dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999, yang telah diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
"Tersangka IR akan ditahan di Rumah Tahanan Negara Salemba Cabang Kejaksaan Agung selama 20 hari ke depan," tambah Qohar.
Berdasarkan Laporan Hasil Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) tahun 2013, Isa memiliki total kekayaan sebesar Rp38,96 miliar, yang mencakup enam bidang tanah dan bangunan di Tasikmalaya, Jakarta Selatan, dan Tangerang Selatan dengan nilai total Rp8,83 miliar.
Ia juga memiliki tiga unit mobil, termasuk Hyundai IONIQ 5 EV senilai Rp750 juta, serta aset transportasi lain dengan total nilai Rp1,5 miliar. Selain itu, ia tercatat memiliki utang sebesar Rp302,91 juta.
Kronologi Kasus Jiwasraya
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar, mengungkapkan bahwa kasus ini bermula pada Maret 2009 ketika Menteri BUMN menyatakan PT Asuransi Jiwasraya dalam kondisi insolven atau tidak sehat secara keuangan.
Berdasarkan laporan keuangan per 31 Desember 2008, perusahaan mengalami defisit pencadangan kewajiban pemegang polis sebesar Rp5,7 triliun.
Untuk menyelamatkan perusahaan, Menteri BUMN mengusulkan penambahan modal sebesar Rp6 triliun kepada Menteri Keuangan melalui skema zero coupon bond dan kas guna meningkatkan Risk-Based Capital (RBC) Jiwasraya.
Namun, usulan tersebut ditolak karena RBC Jiwasraya sudah berada di angka -580 persen, menandakan kondisi kebangkrutan yang parah.
Sebagai langkah alternatif, pada 2009, direksi Jiwasraya, termasuk Hendrisman Rahim, Hary Prasetyo, dan Syahmirwan—yang kini telah menjadi terpidana—menyusun strategi restrukturisasi perusahaan.
Salah satu langkah yang diambil adalah meluncurkan produk JS Saving Plan, yang menawarkan investasi dengan bunga tinggi antara 9 hingga 13 persen, jauh lebih tinggi dibandingkan suku bunga rata-rata Bank Indonesia saat itu yang berkisar 7,50–8,75 persen.
Keterlibatan Isa Rachmatarwata
Produk JS Saving Plan diperkenalkan dengan persetujuan Isa Rachmatarwata, meskipun peraturan mengharuskan setiap produk asuransi mendapatkan izin dari Bapepam-LK.
Saat menjabat sebagai Kepala Biro Perasuransian, Isa menerbitkan dua surat persetujuan terkait pemasaran produk tersebut, meskipun ia diduga telah mengetahui kondisi insolvensi Jiwasraya.
"JS Saving Plan menawarkan skema asuransi jiwa selama lima tahun, dengan periode investasi satu tahun yang dapat diperpanjang atau dicairkan pada tahun kedua hingga kelima," jelas Harli.
Selain menawarkan bunga tinggi, produk ini juga menjanjikan berbagai insentif bagi bank mitra, tenaga pemasar, dan pemegang polis.
Dalam kurun 2014–2017, Jiwasraya berhasil menghimpun premi sebesar Rp47,8 triliun dari produk ini. Perinciannya adalah Rp2,7 triliun pada 2014, Rp6,6 triliun pada 2015, Rp16,1 triliun pada 2016, dan Rp22,4 triliun pada 2017.
Namun, dana yang dihimpun dari produk ini justru diinvestasikan dalam bentuk saham dan reksa dana yang dikelola oleh Jiwasraya di bawah kepemimpinan Hendrisman Rahim, Hary Prasetyo, dan Syahmirwan.
Diduga investasi tersebut tidak menerapkan prinsip Good Corporate Governance (GCG) serta manajemen risiko yang baik. Investigasi juga menemukan adanya transaksi tidak wajar dalam beberapa saham, seperti IIKP, SMRU, TRAM, LCGP, MYRX, SMBR, BJBR, dan PPRO.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]