WahanaNews.co, Jakarta - Demokrasi di Indonesia telah mengalami transformasi yang mengkhawatirkan, menjadi panggung kebrutalan dan hukum rimba. Arus balik perpecahan antara pendukung calon presiden (capres) untuk Pilpres 2024 menyulut konflik di antara mereka, yang sebelumnya begitu loyal terhadap kekuasaan.
Hal ini diungkapkan dalam acara Serial Diskusi Fatsoen Politik berjudul "Menuju Politik yang Beretika & Beradab di Indonesia," yang diselenggarakan secara daring oleh The Lead Institute Universitas Paramadina pada Selasa (5/12/2023).
Baca Juga:
Pemohon Uji Materi UU Pemilu Desak Percepatan Pelantikan Presiden Terpilih
Profesor Didik J. Rachbini, dalam sambutannya, menyoroti fenomena relawan Pilpres yang semestinya menjadi bagian dari sistem institusi rule of law. Namun, selama 9 tahun, relawan justru menjadi "rayap demokrasi" yang mendukung kekuasaan tanpa kritis. Menurutnya, hal ini merupakan bentuk penyimpangan yang merugikan, menjadikan pemimpin Indonesia terkesan otoriter seperti Putin.
Narasumber lain, Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Pemikir Islam & Kebangsaan, mengemukakan bahwa Indonesia, sebagai negara yang muncul dari keberagaman komunitas dan etnis, awalnya berharap fatsoen politik akan terus dijaga pasca-kemerdekaan. Namun, seiring berjalannya waktu, Indonesia malah menjadi "Malin Kundang" terhadap civil society, ibu kandungnya. Kelelahan, kemarahan, dan kekecewaan masyarakat menjadi kisah di berbagai periode pemerintahan, dari Orde Lama hingga Orde Reformasi.
Dr. M. Subhi Ibrahim, Ketua Program Magister Studi Islam, menekankan bahwa negara dapat bubar jika kesepakatan yang dibuat oleh rakyat tidak lagi memberikan mandat kepada negara. Dalam konteks nalar politik, pentingnya memberikan "kartu merah" bagi mereka yang melanggar aturan menjadi perhatian.
Baca Juga:
Mahfud MD: Saya Lebih Baik dari Prabowo-Gibran, tetapi Rakyat Lebih Percaya Mereka
Tokoh/Politisi Muda Tsamara Amany, menyoroti realitas demokrasi sebagai persoalan hitungan suara dan tingkat kepuasan masyarakat. Ekonomi menjadi fokus utama dalam aspirasi masyarakat dari berbagai generasi.
Tsamara menyakini bahwa, dalam 10 tahun ke depan, isu ekonomi akan terus menjadi konsern utama masyarakat, dan politik harus mampu memberikan output nyata untuk mendapatkan dukungan.
[Redaktur: Amanda Zubehor]