WahanaNews.co | Gempa bumi akrab dengan Indonesia. Tsunami Aceh 2004
adalah salah satu buktinya.
Negeri ini terletak di kawasan pertemuan tiga lempeng bumi, yaitu Eurasia, Indo-Australia, dan Pasifik.
Baca Juga:
Banjir Landa Kota Binjai, Sejumlah TPS Ditunda Untuk Melakukan Pemungutan Suara
Ketiga
lempeng itu cukup aktif, setiap tumbukan akan melepaskan energi maha-besar berupa guncangan hebat.
Karena
itu, kita melihat kerusakannya begitu masif, dengan korban sangat banyak.
Terjadi
pada 26 Desember 2004, tsunami Aceh melahirkan duka tersendiri bagi Indonesia
yang tak akan pernah terlupakan.
Baca Juga:
Aktivis Alumni Mahasiswa Jakarta Raya Dukung Al Haris - Sani di Pilgub Jambi 2024
Tsunami
Aceh yang menelan korban hingga 225.000 jiwa itu terjadi akibat gempa bumi di Samudera Hindia.
Pusat
gempa terjadi di kedalaman 10 kilometer di Pantai Barat Aceh, dengan kekuatan gempa 9,3 skala Richter.
Guncangan
dahsyat tersebut mengakibatkan adanya gelombang setinggi 9 meter yang
meluluhlantakkan sebagian Pulau Sumatera.
Efek gempa bumi tersebut tidak dirasakan di Indonesia saja yang
melahirkan tsunami Aceh.
Sebagian
negara tetangga ikut merasakan guncangannya, yaitu Semenanjung Barat Malaysia, Thailand, India,
Sri Lanka, dan beberapa Pantai Timur Afrika.
Terkait
tsunami Aceh, Dr Danny Hilman Natawidjaja, ahli gempa sekaligus peneliti di
Puslit Geoteknologi LIPI, menuangkan hasil pemikirannya di suratkabar Pikiran Rakyat edisi 29
Desember 2005.
Meski
terpaut 15 tahun, apa yang disampaikannya soal tsunami Aceh masih sangat
relevan untuk direnungkan hari ini.
Berikut
ini uraiannya tentang tsunami Aceh. Kepada pembaca yang budiman, bijak, lagi bestari, selamat membaca.
Sumatera yang Unik
Sumatera adalah daerah yang paling banyak diteliti
kondisi tektonik dan sumber gempa buminya.
Sejak
tahun 1991, tim California Institute of Technology dan Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (Caltech-LIPI) mempelajari sumber-sumber gempa bumi di Sumatera.
Ada dua
zona besar gempa bumi di daerah ini.
Pertama,
zona Patahan Sumatera (Sumateran fault
zone) yang melintas di sepanjang zona
pegunungan Bukit Barisan.
Kedua,
zona subduksi Sumatera yang terletak di bawah lautan, di bawah gugusan pulau-pulau di sebelah barat Sumatera.
Pulau ini
mempunyai dua tipe jalur gempa bumi. Hal ini terjadi karena lempeng
India-Australia bergerak miring terhadap arah palung Sumatera, sehingga respons lempeng benua Eurasia (SE Asia)
terhadap gaya tumbukan lempeng Samudra ini menjadi terbagi dua.
Vektor
gaya yang tegak lurus palung direspons oleh sistem zona subduksi dan vektor
gaya yang searah palung kebanyakan direspons oleh Patahan Sumatera di daratan.
Gempa Bumi di
Patahan Sumatera
Sangat
sering gempa-gempa besar terjadi di sepanjang Patahan Sumatera, rata-rata 1-2 kali gempa besar dalam satu dasawarsa.
Jalur
patahan ini banyak melewati daerah berpenduduk padat atau kota-kota cukup besar, seperti Bukit Tinggi dan Padang Panjang.
Kedua kota
tersebut pernah luluh lantak dihantam gempa pada tahun 1926.
Namun,
jalur patahan ini, di samping zona yang berbahaya, juga
memberikan keindahan alam tersendiri, seperti Danau Singkarak yang terbentuk
akibat pergerakan kerak bumi di antara dua segmen patahan.
Kota Banda
Aceh pun tak luput dilewati oleh Patahan Sumatera, sehingga apabila dilakukan rekonstruksi pembangunan setelah
bencana tsunami yang lalu, pemerintah harus memperhitungkan juga potensi bahaya
dari Patahan Sumatera yang di daratan ini.
Untuk mempelajari
karakteristik tektonik dan potensi bencana dari Patahan Sumatera, kami sudah memetakan jalur gempa bumi dengan cukup detail dalam skala 1:50.000.
Gempa dan Tsunami
di Zona Subduksi Sumatera
Gempa-gempa
besar juga sering terjadi di zona subduksi Sumatera.
Tempat ini
sangat ideal sebagai laboratorium alam untuk mempelajari proses gempa bumi karena beberapa hal.
Pertama,
adanya rangkaian pulau-pulau yang berada persis di atas zona gempa bumi, sehingga kita dapat meletakkan alat pemantau gempa bumi, seperti seismometer dan GPS, persis di atas sumbernya.
Kedua, ada
banyak terumbu karang jenis mikroatol di sekeliling pulau-pulau dan di
sepanjang pantai Sumatera.
Pertumbuhan
mikroatol ini sangat sensitif terhadap turun naiknya dasar laut.
Dengan
mempelajari pola pertumbuhannya, kita dapat merekonstruksi sejarah
turun-naiknya muka bumi yang berkaitan dengan siklus gempa selama beratus-ratus
tahun.
Catatan
sejarah menunjukkan bahwa gempa besar pada masa lalu selalu menimbulkan
gelombang tsunami, seperti yang terjadi tahun 1797 dengan
magnitude Mw 8,3 (M~8,3), 1833(M~9), 1861(M~8,5), dan
1907(M~7,8).
Tsunami
terjadi karena adanya pergerakan dasar laut secara vertikal pada saat gempa.
Setelah
seabad lamanya zona subduksi ini tidak meledakkan gempa besar, tiba-tiba di
akhir tahun 2004 lalu kita dikejutkan terjadinya gempa sangat besar dengan
moment magnitude Mw 9,2 yang disertai tsunami Aceh yang memakan banyak korban.
Gempa
raksasa itu memecahkan bagian utara zona subduksi, yaitu dari Aceh sampai ke
Kepulauan Andaman.
Belum
pulih keterkejutan kita, tiga bulan berikutnya, pada tanggal 28 Maret 2005,
segmen zona subduksi yang persis di sebelah selatannya dari segmen Aceh-Andaman
ini juga pecah, menghasilkan gempa bumi dengan magnitude Mw 8,7.
Gempa ini
juga diikuti tsunami, namun tidak begitu besar. [dhn]